Aku terbangun dari tidurku saat tengah hari. Sesuatu yang ingin segera keluar di bawah sana membuatku harus cepat-cepat melangkah ke kamar mandi. Dan ku rasa sangat lega setelah aku mengeluarkannya. Namun saat aku hendak membasuh mukaku, mataku kembali melihat benda yang sebelumnya ku lempar ke tempat sampah. Jadi....ini memang bukan mimpi? Ah...aku benar-benar hamil? Aku berdiri lemas di depan wastafel. Memerosotkan tubuhku seketika ke lantai dan menangis tersedu disana. Apa yang harus ku lakukan? Aku bahkan tidak tau dimana Eric sekarang. Haruskah aku mengatakan soal kehamilan ini padanya? Ya. Aku lalu bangkit kembali dari tempatku. Ku hapus air mata yang sudah bertebaran di pipiku. Aku memang harus menghubungi Eric.
Aku kembali ke kamar. Ku raih ponselku dan ku pencet nomor Eric. Tapi sekarang justru nada lain yang terdengar. Nomor Eric sedang tidak aktif. Bagaimana ini? Aku mencoba menghubungi lagi, lagi dan lagi. Dan hasilnya tetap sama. Aku kembali lemas. Aku benar-benar tidak tau dengan apa yang harus aku lakukan.
Selintas pemikiran buruk datang menghantuiku. Bagaimana kalau yang di katakan mereka semua benar? Bagaimana kalau Eric menikah dengan wanita lain? Benarkah Eric akan pergi dariku? Ah....lalu bagaimana denganku? Aku yang sedang hamil benihnya. Haruskah aku menggugurkan saja kandunganku? Oh...okay, aku baru tau seperti inilah orang yang tengah frustasi dan mereka nekat untuk bunuh diri. Tapi tidak. Aku masih punya kesadaran. Aku tidak mungkin akan mengikuti bisikan setan itu.
Selama seminggu aku mengurung diri di kamar terus. Aku bahkan tak selera untuk makan. Selain karena shock dengan kejadian yang kualami, mungkin karena efek dari kehamilanku juga. Sindrom morning sickness yang sering orang bilang itu ternyata mulai menyerangku. Akupun jadi harus bekerja keras melawan rasa malas saat hendak mengerjakan skripsiku. Tuhan, tolong aku.
Aku berfikir keras mengenai ke depannya. Bahkan hingga detik ini, tanda-tanda keberadaan Eric belum aku ketahui. Dimana dia?
Sebuah pertanyaan lainpun muncul di benakku. Bagaimana kalau mama dan papa tau kalau aku hamil? Mereka pasti akan sangat marah besar padaku. Tidak!! Aku tidak bisa membayangkan sampai kesitu. Haruskah aku menyembunyikannya dari mereka? Untuk sementara ini, ya. Aku harus menyimpannya sendiri. Siapa tau Eric akan datang. Aku yakin dia pasti kembali. Tentu saja. Aku mencoba mem-positifkan pikiranku.Dan hingga dua bulan kemudian....
Oh....ini bahkan sudah lebih dari perkiraanku. Hingga saat inipun orang yang ku harapkan datang tak pernah muncul di hadapanku. Aku sudah lelah mengurung diri dalam kamar dan menangis disana. Aku sudah memutuskan, OK. Fix. Dia benar-benar sudah pergi. Ini bahkan sudah menjelang kelulusan. Dan Eric tak pernah muncul.
Akhirnya akupun memutuskan untuk mengungkap kebenaran ini. Setidaknya orang tuaku harus tau. Apapun resikonya akan ku tanggung. Dan setelah membulatkan tekad, aku langsung meluncur ke tempat asalku. Semoga Tuhan masih menyayangiku sehingga memberi jalan terbaik untukku.
"Sayang....mama tidak tau kau pulang secepat ini," ujar mama gembira saat aku sampai di rumah, "lihatlah dirimu, kau tampak kurus sekali. Bagaimana mungkin? Kau tak pernah makan disana?"
Ingin rasanya aku menangis saat itu juga saat mendengar kecemasan mama. Akupun menghambur ke pelukan mama seketika. Menumpahkan semua emosiku disana. Ternyata begitu nyaman saat kita berada dalam pelukan seorang ibu.
"Hei....kenapa kau menangis? Seperti anak kecil saja," mama berusaha menenangkanku. Akupun melepas pelukanku dan mengusap air mataku.
"Sofie....rindu sama mama," kataku lirih dengan suara sedikit serak.
"Oh sayang...mama juga sangat merindukanmu," mama kembali memelukku. Namun kali ini aku berusaha untuk tidak menangis lagi. "Ayo. Kau pasti lelah setelah perjalanan jauh. Apakah kau lapar? Mama akan menyiapkan makanan untukmu," aku menggeleng pelan. Saat ini aku benar-benar tidak selera makan.
"Sofie ingin istirahat saja ma."
"Baiklah. Istirahatlah. Biar barang-barangmu di bawakan oleh bi Surti."
Aku lalu pergi ke kamarku yang terletak di lantai dua. Kubuka kamar kesayanganku. Semua masih sama seperti saat aku meninggalkannya terakhir kali. Aku meletakkan tas selempangku di tepi ranjang dan melangkah ke balkon rumah. Dari sini aku bisa melihat rumah Eric yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahku. Tiba-tiba semua kenangan Eric bersamaku terbayang kembali. Kenangan-kenangan manis saat bersamanya. Disini. Di kamar ini. Dadaku terasa sesak dan mau meledak mengingat semua itu. Aku tak dapat menghentikan air mata ini lagi. Aku mengumpat, kenapa aku sekarang jadi cengeng seperti ini?
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ternyata mama yang masuk. Aku cepat-cepat menghapus air mataku kembali.
"Ma," gumamku lirih. Aku melangkah ke arah mama berada.
"Mama pikir kau sudah tidur sayang," aku hanya tersenyum saja tanpa bersedia menimpalinya, "kemarilah sayang, ada sesuatu yang mau mama sampaikan padamu," kata mama lalu duduk di tepi ranjangku.
Akupun menurut saja. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang buruk yang akan di sampaikan mama saat ini.
"Sayang....maafkan mama kalau berita ini tidak mama sampaikan padamu lebih awal. Mama hanya takut kau terganggu dalam kuliahmu. Jadi mama memutuskan untuk menyimpannya sementara waktu sampai kau lulus."
"Apa yang sebenarnya ingin mama sampaikan padaku?" tanyaku penasaran dengan kedua alis yang terpaut. Mataku liar menelusuri permukaan wajah perempuan paruh baya di depanku.
"Sofie...mama tau ini akan mengejutkanmu. Tapi mama ingin kau menerima kabar ini dengan baik," mama menjeda kalimatnya sejenak, "sesungguhnya, Eric dan keluarganya....telah pindah ke Amerika."
"Apa???"
Guntur seperti menggelegar seketika di telingaku. Berita ini tak hanya buruk bagiku. Ini mungkin musibahku. Saat ini, ingin rasanya aku lari sekencang-kencangnya dan menceburkan diriku ke laut.
"Tidak!!! Ini tidak mungkin!!! Eric tidak akan meninggalkanku begitu saja. Tidak mungkiiiinnn!!!!" aku berteriak histeris di dalam kamarku sendiri. Air mata yang sejak tadi ku sembunyikan kini tak dapat ku elakkan lagi. Aku tak perduli meski mama bingung melihatku menangis histeris seperti ini.
Dan nyatanya mama memaklumi perasaanku. Dia malah mendekapku erat. Berusaha menenangkan hatiku yang saat ini sedang kacau. Betapa tidak. Orang yang ku tunggu-tunggu selama ini ternyata telah pergi selamanya. Meninggalkan aku sendirian. Meninggalkan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Lalu, bagaimana dengan nasib bayi yang ku kandung ini? Haruskah dia lahir tanpa ayah? Membayangkan itu semua membuat tangisku semakin meledak. Tidakkk!! Eriiiccc, kau tidak boleh pergi!!
🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
FwB (END) Sudah Terbit Di Google Playbook
RomantizmSofie, menjalin persahabatan dengan Eric sejak mereka kecil. Dan karena sebuah kesalahan, terjadi sesuatu diantara mereka. Menukar arti sebuah pertemanan menjadi hubungan yang lebih. Akankah keduanya sama-sama terjerat oleh sebuah rasa yang tidak se...