Kami akhirnya sampai di tempat tujuan. Suara musik terdengar saling berdentuman memekakkan telinga. Rupanya rumah Marisa di sulap sedemikian rupa menyerupai diskotik.
"Yuk!" ajak Nathan padaku. Dan aku mengangguk pelan.
Nathan memberikan isyarat agar aku mengaitkan tanganku pada lengannya. Awalnya aku ragu, namun dia berusaha meyakinkanku dengan menganggukkan kepalanya. Akhirnya akupun bersedia. Dia tampak merapatkan tubuhku padanya. Dan kamipun melangkah masuk ke dalam rumah Marisa.
"Hei...kalian kenapa terlambat?" Marisa melambaikan tangannya dari jauh lalu datang mendekati kami.
"Happy birth day," ucapku kemudian memeluknya sambil bercipika cipiki. Hal yang sama juga di lakukan Nathan padanya.
"Thanks," jawabnya sambil melebarkan senyum. Aku lalu mengambil sebuah bungkusan kecil dari tasku.
"Hanya kado kecil. Semoga berguna buat lo," kataku sambil menyerahkan benda tersebut.
"Ah...Sofie. Harusnya lo nggak perlu repot-repot. By the way, thank you sekali lagi," ungkapnya. Akupun mengangguk kecil, "ayo masuk! Kalian nikmati saja pestanya."
Aku dan Nathan melangkah menuju kerumunan anak-anak yang lain. Sebagian ada yang ku kenal. Sebagian ada yang tidak. Mungkin mereka bukan dari fakultas kami. Atau tepatnya teman Marisa yang lain.
"Hai Sofie," sapa Viona tiba-tiba membuatku terkejut, "lo datang sama siapa?"
"Oh...eh elu? Ehm...ya, tadi Nathan jemput gue."
"Oh. Yuk kita menari bersama? Raisa juga ada disana," ajaknya sambil menunjuk sebuah tempat luas dimana mereka semua sedang berjoget ria mengikuti irama musik.
Aku menoleh ke arah Nathan sejenak hanya untuk sekedar minta ijin padanya. Pikirku tidak enak kalau tiba-tiba meninggalkannya sendirian sedangkan kami sebelumnya berangkat bersama. Dan nampaknya dia tak keberatan aku mengikuti ajakan Viona.
Akupun membaur bersama Raisa. Kami berlenggak-lenggok di tengah-tengah keramaian. Sesekali seorang teman melambaikan tangannya padaku dan aku membalasnya dengan lambaian pula.
"Cari minum yuk," ajak Raisa. Dan kami akhirnya ke sebuah mini bar yang ada di ruangan itu. Seorang petugas yang menjaga area itu menawarkan minumannya.
"Anda mau minum apa?"
"Satu gelas bir," kata Raisa dengan semangat.
"Hah? Lo mau mabuk?" tanyaku tak percaya.
"Ayolah. Sekali ini saja. Mumpung disini gratis," aku hanya tersenyum kecut, "lo, mau minum apa?" tanya Raisa kemudian.
"Ehmm, gue...." aku terdiam antara bingung dan ragu, "kasih gue lemon squash ja."
Akhirnya jatuh pilihanku pada minuman yang tak beresiko itu. Aku tentu masih ingat apa janjiku pada Eric beberapa saat lalu. Bagaimana reaksinya nanti kalau sampai tau aku minum-minum? Eric pasti tak akan memaafkanku.
"Lo nggak mau 'minum'?" tanya Raisa sambil meneguk birnya.
"Nggak ah. Ntar gimana kalau gue pulang dalam keadaan mabuk? Bisa-bisa Eric ngebunuh gue."
"Lo masih aja terikat ma tu anak ya."
"Ya...diakan temen baik gue selama ini," Raisa hanya menggeleng-geleng pelan. Dia sudah hafal dengan sikapku. Tentunya kalau soal aku yang selalu memprioritaskan Eric, kedua sahabatku yakni Viona dan Raisa takkan terkejut lagi.
"Hei, kalian minum nggak ngajak-ngajak sih?" tiba-tiba suara Viona mengejutkan kami dari belakang. Dia mengambil duduk di tengah-tengah kami.
"Habisnya lo sibuk ma cowok lo," sanggah Raisa. Viona hanya nyengir kuda.
KAMU SEDANG MEMBACA
FwB (END) Sudah Terbit Di Google Playbook
RomanceSofie, menjalin persahabatan dengan Eric sejak mereka kecil. Dan karena sebuah kesalahan, terjadi sesuatu diantara mereka. Menukar arti sebuah pertemanan menjadi hubungan yang lebih. Akankah keduanya sama-sama terjerat oleh sebuah rasa yang tidak se...