Nine

3.3K 117 0
                                    

Aku meredam tangisku selama hampir tiga hari berturut-turut didalam kamar. Bahkan kedatangan papa yang baru pulang dari tugasnya, tak lagi ku hiraukan. Untungnya orang tuaku mengerti. Mereka mengira aku bersedih karena kehilangan sosok sahabat terbaikku satu-satunya. Dan mereka memaklumi itu sampai tak mau menggangguku. Mereka memberikan kesempatan untukku menerima kepergian Eric. Dan yang sebenarnya, tidak hanya itu alasanku larut dalam kesedihan. Mengenai kehamilanku, itu menjadi momok terbesarku saat ini.

Kegalauanku membuat aku terlihat seperti orang baru patah hati. Aku bahkan jijik melihat wajahku di cermin. Mataku yang sudah bengkak karena tak berhenti dalam menangis. Dan sudah beberapa hari ini aku tak merapikan rambutku. Ah...jangankan rambut, bahkan aku enggan untuk menyentuh air, sehingga dalam beberapa hari inipun aku tidak membersihkan diri.

Pagi itu aku bangun dari tidurku masih dalam kondisi yang sama. Wajah Dan rambut yang berantakan juga awut-awutan. Aku berjalan menuju balkon kamar. Kembali lagi ku pandangi rumah Eric yang megah menjulang bak istana. Rumah yang jauh lebih besar dari rumahku. Di tempat itu dulu akan dan Eric juga selalu menghabiskan waktu bersama.

"Eric," bisikku lirih.

Tiba-tiba ku rasakan sebuah gerakan dari dalam perutku. Lemah. Tapi aku bisa merasakan kalau itu pasti gerakan janinku. Ya, usia kandunganku sudah menginjak minggu ke-13. Seketika aku teringat tujuanku semula datang ke rumah ini. Ya. Aku tidak boleh menunda untuk memberitahukan kebenaran ini pada mama dan papa. Meski aku tau ini akan menghancurkan mereka, tapi ini sudah tidak bisa ku sembunyikan lagi.

Aku lalu segera pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Merias diri secantik mungkin agar aku tak terlihat sangat memprihatinkan. Meski masih kulihat wajahku masih sangat menyedihkan, namun ini lebih baik dari sebelumnya.

Aku melangkah memantapkan hati dan pikiranku, masuk kedalam kamar mama. Aku tau mama masih di kamarnya. Aku mengetuk pintu pelan, dan terdengar seruan dari dalam kamar. Mama menyuruhku masuk.

Mama terkejut sekaligus senang saat melihatku. Mungkin dia tak percaya kalau aku sudah mau keluar dari kamar. Ku edarkan pandangan ke seluruh kamar. Tak ku jumpai papa di kamar itu. Apakah papa pergi?

"Kemarilah sayang....mama senang melihatmu mau keluar dari kamar," ujar mama sambil melambai kearahku. Tepat seperti dugaanku. Itulah yang menjadi alasan mama tersenyum senang saat melihatku.

"Papa?"

"Papamu sudah berangkat sayang. Dia dinas pagi hari," jawab mama seperti mengerti maksud pertanyaanku.

Aku menutup pintu perlahan dan berjalan mendekati mama yang sedang merias diri di depan kaca.

"Hal apa yang membawamu kemari sayang? Mama mengira kau akan selamanya mengurung diri didalam kamar."

Aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapan mama barusan. Wanita itu lalu beringsut ke sebelahku. Duduk sejajar denganku. Mama meraih bahuku dan menyandarkan kepalaku di bahunya.

"Mama tau kau sangat kehilangan Eric sayang. Bagaimanapun juga kalian tumbuh besar bersama sejak kecil. Kau pasti sulit menerima kenyataan ini. Tapi mama yakin kau bisa melalui semua ini. Kau pasti kuat sayang."

Suara mama yang lembut seakan menusuk kalbuku. Oh....aku tak yakin akan sekuat itu seperti yang mama katakan. Aku tak tahu, apakah aku harus menangis ataukah aku harus mencoba tersenyum. Hatiku terasa pedih. Sakit. Namun saat ini bukan waktunya untukku merutuki nasib. Aku tidak boleh menangis. Aku harus kembali pada tujuanku. Ya. Seperti itu.

"Ma, Sofie ingin mengatakan sesuatu pada mama," tukasku kemudian sambil mengangkat kepala. Menatap mama dengan pandangan mata yang serius.

"Katakan sayang," mama mengusap kepalaku pelan.

"Ma. Ini adalah sebuah kebenaran yang mungkin akan menyakitkan mama dan papa." Mama tampak mengerutkan keningnya dan menatapku seksama. Aku berusaha menguatkan hatiku sekali lagi. Ku tarik napas dalam-dalam dan ku hembuskan perlahan, "Ma....aku....hamil...."

Tak ada respon apa-apa yang di tunjukkan mama kecuali mata yang membulat penuh seperti terhipnotis dengan kata-kataku. Sedetik kemudian mama justru tertawa. Tawa yang hambar.

"Kau...kau...sedang bercanda bukan? Kau sengaja ingin membalas perbuatan mama karena sudah memberikan kabar buruk untukmu kan?" mama menampik disela-sela tawanya. Namun aku menanggapi ucapan mama dengan wajah yang serius. Bahkan hanya sorot mata kesedihan yang terpancar dari mataku.

"Nggak ma. Sofie tidak sedang bercanda," ujarku lagi dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Pada saat itulah, ku lihat perubahan raut muka mama. Tawa yang semula tersungging di bibirnya langsung menghilang. Tatapan mata yang tadinya lembut kini berubah tajam.

"Siapa? Katakan siapa yang menghamilimu? Katakan siapa ayah dari bayi itu!!" teriak mama gusar. Aku tak menjawab. Aku hanya bisa tertunduk sambil berderai air mata.

"Jawab Sofie!! Siapa pria yang sudah menghamilimu!! Siapa bajingan itu?!?!" mama mengguncang tubuhku dengan suara yang menggelegar di telinga. Aku semakin histeris oleh ratapan tangis. Mulutku seperti terkunci dan tak mampu menjawab pertanyaan yang sesungguhnya mudah itu.

Tiba-tiba ku lihat mama berdiri dari tempatnya, "Ya. Mama tau siapa pria itu," aku mendongak seketika. Melihat wajah mama yang tampak gusar, "Eric. Pasti Eric yang sudah menghamilimu bukan? Jawab Sofie!!!"

"Bukan ma!!! Bukan!!!" bantahku histeris sambil menggeleng-gelengkan kepalaku kasar, "bukan diaaa...." aku tersengal-sengal dalam tangisku.

"Lalu siapa nak? Katakan pada mama, pria mana yang sudah menodaimu?" mama menjatuhkan tubuhnya di hadapanku dan mulai terisak bersamaku.

Untuk sejenak kami kalut dengan pikiran masing-masing. Air mata masih setia menemani keheningan yang tercipta di antara kami. Mama lalu bangkit dan duduk kembali disampingku. Di usapnya kepalaku dengan lembut dan penuh sayang.

"Katakan sayang. Katakan. Pria mana yang telah menanam benihnya di perutmu," tanyanya sekali lagi namun dengan nada yang jauh lebih halus. Dan itu membuatku semakin pedih. Aku tak kuat menahannya lagi. Cukup. Aku harus mengatakan sesuatu.

"Seseorang telah memperkosaku ma. Dan aku tidak tau siapa pria itu."

Sebuah kalimat kebohongan akhirnya lolos begitu saja dari mulutku. Gemetar aku mengucapkan ketidak benaran itu. Aku takut mama tau kalau aku berkata yang bukan sesungguhnya. Namun nyatanya dugaanku salah. Mama justru memelukku dengan erat.

"Maafkan mama sayang. Mama tidak mengerti perasaanmu. Ini pasti berat untukmu," bisiknya di telingaku, "apakah Eric tau soal ini?" lanjutnya. Aku menggeleng cepat. Mama masih merangkulku sampai aku benar-benar merasa tenang.

"Ma, aku takut papa akan marah," kataku kemudian setelah mama melepaskan pelukannya.

"Tenanglah sayang. Kita akan menjelaskan ini perlahan-lahan. Kau juga harus menceritakan pada mama yang sebenarnya bagaimana peristiwa itu terjadi." Aku mengangguk pelan. Setidaknya untuk saat ini aku bisa tenang. Mungkin aku harus merangkai kembali sebuah cerita bohong yang nanti akan ku paparkan pada mereka.

"Ma, bolehkah aku minta satu permintaan?"

"Katakan sayang."

"Aku ingin kita pergi dari tempat ini."

Mama tidak langsung menjawab pernyataanku. Matanya menatapku seksama tanpa berkedip, "Aku ingin melupakan bayangan Eric," tambahku dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Kita akan membicarakan ini dengan papamu. Bersabarlah."

Mama memelukku kembali sambil sesekali mengusap rambutku. Aku berharap ini akan jadi awal dari kehidupanku. Aku sudah memutuskan akan melupakan Eric selamanya. Menghapusnya dari hidupku.

🍭🍦🍭🍦🍭🍦🍭🍦🍭🍦🍭

Tbc

FwB (END) Sudah Terbit Di Google PlaybookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang