Aku sedang bersiap diri untuk menghadiri pesta salah satu temanku saat Eric tiba-tiba pulang. Entah kemana saja dia seharian. Aku juga tak menjumpainya di kampus. Mungkin dia sedang hang out bersama teman-temannya.
"Lo mau kemana? Rapi amat," tanyanya saat melihatku keluar dari kamar dengan sebuah baju yang di bilang lumayan sexy. Aku mendudukkan tubuhku tepat di sebelahnya.
"Gue mau keluar. Marisa ngasih undangan ke pesta ulang tahunnya. Ehmm...gimana penampilan gue? Cantik nggak?"
Aku mencoba meminta pendapatnya mengenai penampilanku. Namun kulihat dia nampak tidak suka. Aku sih cuek saja sambil memakai hand body pada pergelangan tangan dan kakiku.
"Marisa? Anak yang rambutnya di cat merah itu?" selidiknya sambil mengerutkan kening. Dan aku hanya mengangguk pelan, "lo yakin mau ke pesta itu?"
"Iya. Emang kenapa?"
"Sebaiknya jangan deh."
"Kenapa sih? Aishh....jangan bilang kalau lo takut sendirian di apartemen. Basi tau," aku lalu berdiri mengambil sepatu higheelsku.
"Masalahnya, lo yakin kalau itu pesta biasa?"
"Emang dia mau bikin pesta kayak gimana?"
"Sof, gue cuma takut kalau lo nanti sampai di suruh minum atau...."
"Udah deh. Nggak usah punya pikiran negatif dulu. Lo nggak percaya sama gue? Lo tau kan, gue nggak pernah minum. Kalaupun mereka maksa, gue tetep akan menolaknya. Percaya deh," kataku sambil memakai higheelsku. Kulihat raut wajah Eric masih tidak puas dengan penjelasanku.
"Terus, lo kesana ma siapa?" tanyanya kemudian.
"Nathan."
"Apa? Nathan?" teriaknya kencang membuatku menutup telinga seketika.
"Apaan sih? Bisa nggak sih kalau nggak teriak? Lo kira gue budeg apa," gerutuku.
"Kenapa sama dia?"
"Kenapa emang?"
"Bukankah ada Viona sama Raisa. Kenapa nggak sama mereka?"
"Heh, denger ya," aku mendekatkan diriku padanya. Menatapnya dengan penuh kesungguhan, "Viona sama Raisa pergi ke pesta itu dengan cowok mereka masing-masing. Terus, lo kira gue mau nebeng mereka gitu? Huh...yang benar saja," aku kembali ke kamar untuk mengambil tas selempangku.
Eric sepertinya masih belum terima. Terlihat dari sikap nya yang mengekor langkahku dari belakang. "Kalau begitu gue ikut!" serunya tiba-tiba membuatku menoleh seketika ke arahnya.
"Apa?"
"Gue ikut sama lo."
"Nggak ah. Ngapain lo ikut? Yang ada ntar malah ganggu gue lagi."
"Nggak. Sumpah deh, gue nggak akan masuk ke dalam. Nanti biar gue nunggu lo di luar. Gimana?" dia mengajukan penawaran.
"Tetep nggak. Lo nggak bisa ikut."
"Sofie...please...gue nggak tenang deh ngebiarin lo sama tu cowok."
"Aduh Eric, jangan kayak anak kecil deh. Lo pikir Nathan itu cowok kayak gimana? Pikiran lo selalu negatif mulu ya sama temen gue. Tadi Marisa, sekarang Nathan. Emang lo tau apa sih tentang temen-temen gue?"
"Eh, monyet. Meski gue nggak satu jurusan sama mereka, tapi gue tau sifat temen lo satu persatu. Gue tau siapa tu Marisa, dan siapa itu Nathan."
"Ah....sudah...sudah. Terserah lo aja menilai mereka kayak gimana. Sorry, gue tetep harus pergi sama dia. Gue sudah terlanjur janji sama Nathan, dan gue nggak enak kalau sampai ngebatalin janji sama dia," aku lalu melangkah pergi. Namun sesaat kemudian aku berhenti dan menoleh kembali ke arahnya, "jangan lupa, kalau lo tidur, matikan TV. Awas aja kalau gue pulang TV masih nyala sementara lo enak-enak ngorok," ancamku lalu menghilang di balik pintu. Sempat ku lirik ke arahnya, dia meraup wajahnya karena kesal.
⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘
Terdengar suara deringan telfon di ponselku. Ku lihat panggilan itu berasal dari Nathan.
"Iya Nat?"
"Lo sudah siap? Gue sekarang ada di depan apartemen lo."
"Ehm, ok...ok...gue segera turun ke bawah."
Dan aku setengah berlari agar segera sampai di tempat Nathan berada. Kulihat mobil Nathan terparkir di dekat pintu masuk. Akupun segera naik ke mobilnya.
"Sorry, lo udah nunggu lama," ujarku saat sudah duduk di dalam mobil.
"Nggak. Gue juga baru nyampek kok," Nathan lalu menjalankan mobilnya, "Ehm...ngomong-ngomong, malam ini lo sangat cantik deh," pujinya membuatku merona seketika.
"Thanks," jawabku sambil tersenyum malu.
Sejenak suasana hening. Kami bingung mau membuat topik obrolan tentang apa. Pasalnya aku dan Nathan memang tidak terlalu dekat. Kami hanya sebatas saling kenal saja.
"Hmmm, apakah lo nggak mau mampir ke suatu tempat dulu?" tanya Nathan tiba-tiba membuyarkan lamunanku yang sesaat lalu terbang.
"Hah? Untuk apa?" tanyaku bingung.
"Membeli hadiah mungkin."
Aku langsung mengerti arah pembicaraannya. Lalu aku menunjukkan tas yang ada di pangkuanku. Dan sepertinya dia tau apa maksudku. Bahwa hadiah yang ku bawa, ku simpan di dalam tas. Nathanpun mengangguk-angguk mengerti.
"Ngomong-ngomong gadis secantik lo, masak iya nggak punya cowok sampai sekarang," ujarnya kemudian.
Akupun mendesah halus, "Hmmmhhh...mau gimana lagi. Bukannya gue gak mau sama mereka yang deketin gue. Tapi mereka sendiri yang lari saat sudah deket sama gue."
"Kenapa emang?"
"Ya...tau sendirilah lo."
"Soal Eric?"
"Hmmm," jawabku singkat.
"Lagian lo juga sih."
"Kok jadi gue sih? Emang apa salah gue?"
"Ya elunya yang nggak peka. Dimanapun, orang pasti akan berpikiran sama. Para lelaki pasti akan cemburu kalau melihat ceweknya deket ma cowok lain."
"Termasuk sahabatnya sendiri?"
"Yup."
"Aneh," jawabku sarkasme sambil memalingkan muka kearah jendela samping.
"Kok aneh? Ya emang gitu kalau cowok. Emang lo kira cewek nggak? Coba tanya si Eric, pasti ceweknya juga cemburu kalau lihat dia deket ma elu."
"Eh...nggak lah yaw. Gue tau sendiri kok kalau cewek si Eric fer-fer aja ma gue. Ya...meski nggak semua sih. Emang, ada juga di antara mereka yang punya pikiran demikian. Itupun yang mempunyai perasaan sangat sensitif."
"Nah...tu kan bener apa gue bilang. Apa lagi kalian tinggal di atap yang sama. Jelas-jelaslah orang akan punya pikiran macam-macam."
Aku hanya mendengus saja mendengar sanggahan Nathan barusan, "Bodo ah sama omongan orang. Yang jelas, kalau gue harus ninggalin Eric demi pria lain, gue nggak mau. Emang mereka siapa?"
"Seberapa pentingkah Eric bagi lo?"
"Ya sangat penting sekali. Dia itu dunia gue. Kami sudah berkumpul bahkan sejak kami masih orok. Susah, senang, kami jalani bersama. Jadi kalau ada orang lain yang merasa diri mereka terganggu dengan persahabatan kami, ya silahkan pergi saja."
Ku lihat Nathan hanya menarik salah satu sudut bibirnya saja tanpa mau membantah pernyataanku. Dan untuk sejenak, suasana terasa hening kembali. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing sampai di tengah perjalanan, Nathan menghentikan mobilnya.
"Tunggu disini sebentar ya. Gue mau beli sesuatu dulu," katanya lalu keluar dari mobil dan masuk ke sebuah apotek.
Beberapa saat kemudian dia kembali lagi kedalam mobil. Diapun menjalankan mobilnya kembali. Aku tidak bertanya dia membeli apa di apotek itu. Ku rasa itu juga bukan urusanku.
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
KAMU SEDANG MEMBACA
FwB (END) Sudah Terbit Di Google Playbook
RomanceSofie, menjalin persahabatan dengan Eric sejak mereka kecil. Dan karena sebuah kesalahan, terjadi sesuatu diantara mereka. Menukar arti sebuah pertemanan menjadi hubungan yang lebih. Akankah keduanya sama-sama terjerat oleh sebuah rasa yang tidak se...