Suara musik berdentuman saling bersahutan seirama dengan goyangan erotis para pengunjung night club. Dan disinilah aku dan Viona sekarang berada. Disini kami bermaksud merayakan pertemuan kami setelah lima tahun lamanya.
"Bagaimana denganmu? Apa kau sudah menikah?" tanyaku sambil menyesap wine milikku.
"Hmmm, kurang lebih dua bulan lagi aku akan menikah," jawab Viona juga ikut meneguk Brendy miliknya. "Dan kau, sampai kapan kau akan sendiri terus seperti ini? Ku lihat karirmu sudah bagus. Tapi kenapa kau masih betah melajang?" ujarnya setengah menyindir. Aku tersenyum kecut mendengar pernyataan Viona barusan.
"Entahlah. Mungkin Tuhan masih belum menemukan jodoh untukku," sahutku acuh tak acuh. Ku teguk semua wine dalam gelasku dan aku memanggil bartender untuk menuangkannya satu gelas lagi. "Kau...apakah masih dengan Beni?" tanyaku kemudian hati-hati.
Kulihat Viona termenung sejenak. Entah apa yang di pikirkannya. "Aku sudah lama putus dengannya," jawabnya sendu.
"Oh...maaf," tukasku menyesal.
"Ah...tidak. Tidak masalah. Lagi pula sekarang aku lebih bahagia dari sebelumnya. Vano, calon suamiku adalah pria yang baik dan bertanggung jawab. Dan satu hal lagi yang terpenting Sofie," Viona mendekat kearahku dan berbisik di telingaku, "aku masih menjaga kevirginanku hingga saat ini. Dan itu pastinya untuk dia seorang."
Aku mengurai senyum saat mendengar kalimat terakhirnya. Baiklah. Hal itu memang harus aku acungi jempol. Dijaman sekarang, sedikit wanita yang bisa menjaga kesuciannya. Dan jika Viona masih bisa bertahan, sungguh aku merasa bangga padanya.
Aku mengangkat minumanku tinggi-tinggi mengajaknya untuk bersulang. Disaat yang bersamaan, aku melihat bayangan Nathan dan Rachel di tempat itu. Lagi-lagi mereka berdua. Kenapa aku jadi sering bertemu dengan dua orang ini?
Awalnya aku ingin mengabaikan mereka. Namun saat ku lihat Rachel berjalan sempoyongan dan di tuntun oleh Nathan yang jelas masih dalam keadaan bugar, aku merasa was-was sendiri. Bagaimana tidak. Meski aku tau kalau mataku mulai kabur karena pengaruh alkohol. Ya. Aku mulai mabuk. Tapi aku masih bisa melihat jelas Nathan menggerayangi tubuh Rachel. Aku lebih terkejut lagi saat pria itu mulai berani mencium Rachel dengan sangat rakus. Spontan akupun berdiri dari dudukku. Tidak. Aku harus menolong Rachel. Aku tidak bisa membiarkan Nathan mengambil kesempatan dalam ketidak sadaran wanita itu.
"Sof, mau kemana?" tanya Viona terkejut.
"Sebentar Vi. Ada sesuatu yang mau ku selesaikan dulu."
"Aku ikut."
Aku tak menggubris Viona yang mengekor di belakangku. Langkahku sedikit limbung saat menghampiri tempat Nathan berada. Dan saat aku sampai di dekat mereka, ku tarik tubuh pria brengsek itu seketika. Tentu Nathan terkejut melihatku di tempat itu.
"Hei....kau..." sergahnya emosi.
"Apa yang ingin kau lakukan dengan keadaan Rachel yang sedang mabuk? Jangan coba-coba kau macam-macam dengannya, atau...."
"Atau apa?" dia menantang sambil menarik salah satu sudut bibirnya.
"Aku akan melaporkannya pada Eric. Dan kau tau apa akibatnya nanti padamu."
"Ciihhh...kau pikir aku takut? Silahkan saja kalau kau mau."
"Kau?!?! Dasar pria terkutuk. Sifatmu dari dulu masih sama, bajingan. Kau selalu memanfaatkan keadaan. Aku minta kau tinggalkan tempat ini sekarang!!!" ujarku mulai berang. Mataku menatap penuh kebencian pada pria itu.
"Kau tak bisa mengusirku, nona. Ini tempat umum. Siapapun berhak kemari. Kalau kau mau, kau saja yang pergi dari sini."
Aku menggeram. Sungguh aku mengutuk perkataannya yang kelewat benar. Aku memang tak bisa mengusirnya begitu saja. Atau mungkin memang sebaiknya aku yang pergi? Baiklah. Aku akan mengajak Rachel pergi dari tempat ini.
"Rachel. Ayo kita pergi. Aku akan mengantarmu pada Eric," kataku pada wanita itu. Namun di luar dugaan kalau tiba-tiba dia menghentakkan tanganku dan mendorongku sampai aku hampir terjatuh. Untung Viona menangkapku dengan cepat.
"Pergi kau dasar jalang!!! Aku tidak butuh pertolonganmu!! Jangan berpura-pura baik di hadapanku. Aku tau itu hanya kedokmu saja. Ternyata kau tak lebih baik dari cacing kotor di dalam lumpur," Rachel mencaciku penuh kebencian.
Sungguh, hatiku terasa panas mendengar perkataan wanita itu barusan. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu? Kenapa dia tak pernah mau menerima maksud baikku? Ya. Aku tau. Pikirannya memang sudah teracuni oleh Nathan si manusia sialan.
"Nathan, ayo sebaiknya kita pergi dari sini. Wanita ini hanya mengganggu kesenangan kita saja," ajak Rachel lalu menarik tangan Nathan. Dan dengan sikap pongah, pria itu tersenyum penuh kemenangan diatasku.
Aku menggeram. Aku marah. Aku berbalik ke meja bar kembali setelahnya. Dan Viona masih setia mengikutiku.
"Beri aku minuman lagi!!" Pintaku pada sang bartender dengan berapi-api.
"Sof, bukankah itu tadi....Nathan?" tanya Viona setengah bingung. Aku tak menjawab pertanyaannya. Kuteguk minumanku sekali waktu. Dan belum cukup itu, aku menyuruh bartender itu menuangkan lagi, lagi dan lagi. Aku benar-benar emosi. Rasanya ingin sekali aku menampar mulut Rachel tadi kalau tidak mengingat dia dalam keadaan mabuk.
"Cukup Sofie. Kau sudah mabuk."
"Biar. Aku memang ingin mabuk malam ini," bantahku kasar. Biarlah. Aku memang ingin melupakan semuanya. Tentang Rachel, Nathan, dan juga Eric. Mereka bertiga seperti bayangan hitam yang menari-nari di otakku.
Entah bagaimana selanjutnya, sepertinya aku sudah tak sadarkan diri. Hanya saja saat aku mulai sadar, aku sudah berada di apartemenku. Ya, meski kepalaku masih berdenyut pusing karena pengaruh minuman semalam, tapi aku masih bisa menajamkan indra penglihatku. Aku terkejut saat menjumpai Eric sudah duduk di tepi ranjang dengan membaca surat kabar.
"Kau?!?!" ucapku pelan.
"Kau sudah bangun rupanya," Eric mendesah lalu meletakkan koran hariannya.
Aku baru sadar kalau pakaianku sudah berganti. Ku lirik Eric sekilas. Mataku memicing curiga padanya. Dan sepertinya dia tau apa yang ku pikirkan. "Ya. Aku yang mengganti pakaianmu. Ku rasa kau tak perlu heran dengan hal itu, karena aku tak mungkin menyuruh orang lain yang menggantinya. Dan sekarang, kau harus membersihkan dirimu. Lihatlah, seluruh tubuhmu penuh dengan bau minuman," Eric tampak menggerutu. Aku hanya membuang pandangan kesal. Namun seketika aku terkejut saat tiba-tiba dia mengangkat tubuhku dari tempat tidur.
"Eric, apa yang kau lakukan?" jeritku seketika.
"Diam dan menurutlah atau aku akan melakukan hal yang tak kau inginkan," hardiknya sarkasme. Akupun terpaksa mengikuti perkataannya. Melingkarkan tanganku pada lehernya agar tak terjatuh.
"Aku bisa berjalan sendiri, Eric."
"Kau masih mabuk. Pengaruh alkohol masih menguasaimu," katanya bengal. Eric berjalan ke kamar mandi dan menurunkan aku disana.
"Baiklah. Aku sudah sampai. Sekarang pergilah!" pintaku setelahnya. Eric memandangku tak berkedip membuatku tiba-tiba merona seketika. Aku jadi teringat perkataan Viona kemarin. Kenapa aku jadi malu begini?
"Wajahmu memerah?" tegurnya membuatku tersentak saat tangannya menelusuri wajahku. Dan cepat-cepat aku menepiskannya.
"Cepat pergilah! Biarkan aku membersihkan diriku." Aku mencoba menghindar karena malu. "Hmmm, mungkin aku bisa minta tolong padamu untuk membuatkan sarapan untukku?" ujarku setengah merajuk. Kulirik dirinya sekilas. Melihat apa reaksinya. Eric hanya menarik napas panjang sambil memasukkan kedua tangannya dalam saku celana.
"Aku akan membuatkan makanan kesukaanmu," katanya kemudian melangkah pergi. Entah kenapa aku jadi tersenyum-senyum sendiri. Namun saat mengingat kejadian semalam, aku jadi berpikir lain. Tidak. Aku masih terpikirkan tentang Rachel dan Nathan. Apa yang mereka lakukan setelah pergi dari tempat itu? Haruskah aku menceritakan hal ini pada Eric?
⚘⚘⚘⚘⚘
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
FwB (END) Sudah Terbit Di Google Playbook
RomanceSofie, menjalin persahabatan dengan Eric sejak mereka kecil. Dan karena sebuah kesalahan, terjadi sesuatu diantara mereka. Menukar arti sebuah pertemanan menjadi hubungan yang lebih. Akankah keduanya sama-sama terjerat oleh sebuah rasa yang tidak se...