9

1.4K 182 3
                                    

Sapuan lembut cahaya mentari memenuhi ruangan. Persegi empat. Dua rak besar penuh buku berdiri kokoh membentuk sudut di satu sisi. Sementara sisi yang lain, di isi dengan sebuah sofa panjang berwarna abu-abu.

Seorang wanita berbaring di atasnya. Berwajah oval, dengan hidung runcing dan iris biru pucat. Sangat jelita. Dilihat dari tampilannya ia berusia setidaknya 25 tahun keatas, nyatanya umurnya tak lebih dari 20. Terbalut gaun hitam, bersandar anggun pada sofa. Tangan kanan memegang gagang cangkir dengan anggun, sedang tangan yang lain sibuk membolak-balik buku di pangkuan.

Ruangan hening.

Hanya terdengar dengung samar pendingin ruangan yang bekerja keras membuat ruangan menjadi sejuk.

Wanita itu menghela napas, bosan. Ia baru saja meletakkan cangkir di atas meja ketika pintu diketuk.

"Masuk!" wanita itu menyahut.

Pintu dibuka. Dari baliknya muncul seorang lelaki tampan berseragam hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menunduk hormat dan mendekati pimpinannya.

"Aku sudah menunggumu." kata wanita itu dengan suaranya yang tajam. "Apakah semua sudah beres, V?"

Lelaki itu tidak langsung menyahut. Tiba-tiba ia berlutut, "Maafkan saya, Madam!"

Tidak menjawab, wanita itu mengerutkan dahi. Menunggu.

"Saya.. Saya tidak berhasil menghabisi mereka semua. Si anak berhasil lolos. Saya pantas dihukum." V menunduk dalam penuh rasa sesal.

Wanita itu menaikkan sebelah alisnya. Berkata dengan penuh keangkuhan dan kekuasaan dalam suaranya. "Baiklah! Kalau begitu terima hukumanmu!"

Sengaja menjeda kalimatnya, membuat V menegang. Hukuman darinya selalu berat dan sulit. Setetes keringat dingin mengintip di balik anak-anak rambut.

"Pergi dan tangkap anak itu sampai dapat! Bawa hidup-hidup kehadapanku! Jangan kembali sampai kau mendapatkannya!" raut wajah si wanita berubah, dingin dan menakutkan.

Namun V menatapnya penuh kekaguman, pemujaan. Segera sadar, V menunduk hormat. Segala ucapannya adalah perintah.


"Baik, Madam!"

Berbalik, penuh rasa syukur V meninggalkan ruangan itu. Hukuman ini terbilang ringan, bahkan tak terasa seperti hukuman.


Kembali seorang diri, wanita itu menatap lurus kedepan. Berbisik. Menyeringai.

"Pembalasan selalu manis kan, Park?"



.




Siang yang terik membakar bumi. Bola api raksasa itu menggantung tenang di atas sana. Tidak menghiraukan makhluk-makhluk di bawahnya yang kepayahan terpapar sinar panasnya.

Suga, masih hidup. Terkatung-katung di belantara. Berhasil bergerak walau dengan susah payah. Luka-luka membalut tubuhnya. Berkali-kali tersungkur karena kakinya yang terluka goyah pijakannya. Tubuhnya melawan keinginannya untuk tetep bergerak dalam usaha mencari Jimin.

Tidak tahu sudah berapa lama susuri hutan itu, Suga kehilangan hitungan waktu. Ambruk dibawah sebuah pohon besar, Suga menangis.

"J-jimin.."

Marah pada dirinya sendiri atas ketidakmampuan dalam menjaga Jimin, mencari Jimin. Apa kata Mama bila ia tahu? Ia pasti kecewa sekali pada Suga.


Ah, Mama. Suga berusaha tidak memikirkan Mama. Ia tak sanggup.Rasanya sudah berabad-abad berlalu sejak mereka bertiga berkumpul di pondok untuk yang terakhir kalinya.

Kini Mama telah tiada. Tugas menjaga Jimin jatuh padanya. Maka didorong oleh keinginan kuat untuk segera temukan Jimin, Suga mulai bergerak kembali.

Namun, tubuhnya sudah terlalu lemah. Ia tak mampu bergerak. Setiap inci tubuhnya menjerit protes kala ia gerakkan.

Tapi Suga memaksakan dirinya. Sehingga ia merangkak di tanah hutan yang dipenuhi jarum-jarum pinus dan dedaunan kering.


Jimin, kamu dimana?


Oh, mungkin Jimin akan datang jika ia bisa berteriak memanggil namanya.

"J-jimin.."


Tapi mengapa suaranya tidak mau keluar dan semakin hilang?


"J-jimin! J.. JIMINNN!"

Perlu usaha yang besar untuk sekedar keluarkan suara apalagi berteriak seperti itu. Tenaga Suga habis.



"JJ..JIMIIIIN! Kk-kumohon... JIMIIIIIN!"

Suga berlutut, bercucuran air mata.

"T-tolong... JIMIN TOLONG KEMBALIIII..!"



Tak mempunyai kekuatan lagi, Suga terbaring lemas di sana. Badannya sakit semua. Menangis tersedu-sedu hingga air matanya kering. Meratapi nasib.

Mengapa semua derita ini ditimpakan padanya? Apa Tuhan juga membencinya? Karena ia anak haram seperti yang selalu ayahnya dulu katakan?

Oh, Suga lebih memilih terkurung di kamar gelap seumur hidup ketimbang harus kehilangan Jimin seperti ini.

Mungkin gara-gara Suga jugalah Jimin kehilangan Mama. Seharusnya dulu Mama membiarkannya mati saja dipinggir jalan. Suga pasti penyebab semua ini terjadi. Suga pasti pembawa sial.

Tidak tahan memikirkan itu lagi. Suga pikir kematian jauh lebih menyenangkan daripada semua penderitaan yang ia jalani kini.


Suga ingin mati saja.


Tolong bunuh Suga.


Ambil nyawa Suga sekarang juga.


Suga sudah tid-




"Hyung?"




Apa?











Tbc






Sengaja aku up sekarang karena minggu depan udah sibuk lagi. Eh g ding, mulai besok malah udah super sibuk lagi😅

Tapiiiii, aku bisa janjiin dua minggu sekali update

Makasih buat yang udah mengikuti cerita ini, vote atau bahkan ninggalin pesan di kolom komentar

Semuanya berarti banget buat aku



Makasih udah baca🙏🙏

Last BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang