12

2.2K 231 88
                                    

"Jika adek tidak mampu membayar, adek bisa mengurus surat keringanan dengan syarat surat-surat yang ada harus lengkap. Seperti kartu keluarga, kartu identitas, surat keterangan yang menyatakan kalian tidak mampu, dan beberapa surat lainnya. Adek bisa bertanya di pusat informasi."

Jimin hanya bengong. Tidak satupun kalimat dari si suster yang ia mengerti. Surat apa tadi?

Melihat si bocah kebingungan, suster tersenyum maklum. "Atau begini saja. Apa orang tua kalian belum datang?"

Jimin menunduk lalu menggeleng.

Si suster merogoh saku seragamnya. "Bagaimana kalau noona mencoba menghubungi rumahmu. Berapa nomor ayahmu, apa kamu ingat?"

Jimin tidak tahu apa maksudnya nomor ayah. Tapi ia tahu harus menjawab apa. Sambil menunduk, suaranya bergetar.

"Kami—yatim piatu." diucapkan sangat lirih dengan wajah mengernyit. Seolah setiap huruf dalam kalimatnya menyakiti lidahnya. Menusuk telinganya. Meremas hatinya.

"Oh, maaf. Apa kau punya wali?"

Dan dengan gelengan Jimin, suster itu berlalu dengan tatapan iba. Berbisik-bisik di sudut dengan temannya. Jimin tau mereka membicarakan dirinya karena sesekali tatapan mereka terarah padanya. Tapi ia tak peduli.

Suga sudah dipindahkan ke ruang intensif yang terpisah dengan pasien lain. Jimin duduk menemaninya. Dan kini di tubuh Suga sudah tertancap alat-alat yang tidak diketahui oleh Jimin—ada yang mengeluarkan bunyi tuttut nyaring. Begitu banyaknya peralatan itu sampai-sampai ia mengira hyungnya semacam robot atau mesin.

Jimin sangat khawatir jika Suga akan pergi meninggalkannya. Meskipun ia tidak begitu paham tentang kondisi Suga, tapi Jimin tahu hyungnya harus segera di operasi atau sesuatu yang buruk akan terjadi—lelaki berjas putih itu mengatakannya padanya.

"Hyung, cepatlah bangun." Jimin berbisik lirih.

"Aku takut."

Jimin sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi meskipun ia sangat ingin. Mungkin air matanya sudah habis. Tubuhnya saat ini terasa nyeri semua. Baru terasa ternyata luka-lukanya amatlah perih. Dan Jimin tidak bisa mengeluh. Tidak tahu harus mengeluh pada siapa lebih tepatnya.

Ruangan itu hening. Hanya terpecahkan oleh bunyi alat penopang hidup Suga dan detak jarum jam di dinding. Saking sunyinya bahkan detak jam itu terdengar nyaring. Jimin belum bisa membaca jam. Tapi ia kira ini sudah larut malam karena beberapa lampu di koridor dimatikan oleh petugas.

Jimin hanya duduk diam sambil memandang wajah pucat Suga yang kini hanya terlihat sebagian—karena terhalang masker oksigen—sambil menahan perih dan ngilu di badannya. Bocah itu merasa ia sudah duduk bertahun-tahun lamanya disana ketika dua orang perawat datang. Mereka mendorong brankar Suga beserta alat-alat itu.

"Suga Hyung mau dibawa kemana?" Jimin bertanya panik. Ia mengira Suga akan dilempar keluar dari sana karena mereka tidak mampu membayar.

Salah seorang perawat mendekati Jimin dan menyejajarkan tinggi dengannya. "Kakakmu sudah bisa di operasi. Kamu boleh ikut, tapi tunggu di luar ruang operasi, ya."

"Eh? Benarkah?"

Perawat itu mengangguk.

"Tapi saya belum membayar—"

Jimin setengah percaya, setengah mengira ini mimpi. Apa ia tertidur ketika duduk menemani Suga?

Tapi senyum ramah perawat itu terlihat nyata. Juga kata-kata yang ia ucapkan selanjutnya. "Wali kalian sudah membayar lunas semua biayanya. Nah, sekarang kita akan ke ruang operasi."

Perawat itu berdiri tegak kembali dan melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.

"Tapi—tapi kami tidak punya wali,"

Kata-kata Jimin tertelan oleh bunyi gesekan roda dengan lantai yang berisik.







Beberapa saat yang lalu..


Seorang lelaki tampan datang berlari ke meja resepsionis.

"Permisi. Saya ingin tahu tentang kondisi pasien bernama Suga." laki-laki itu berkata cepat.

"Maaf, anda siapa?"

"Saya wali dari pasien ini."

"Sebentar," petugas resepsionis itu mengecek sebentar layar komputer di hadapannya. "Saat ini pasien bernama Suga sedang berada di ruang intensif. Anda bisa bertanya langsung kondisi pasien kepada dokter yang bertanggung jawab, Dr. Suh. Kantor beliau ada di lantai tiga."

"Terimakasih."

Tidak menunggu lama si lelaki langsung melarikan kakinya menuju lift. Tak lama ia sudah sampai di lantai tiga dan masuk ke dalam ruangan dengan tulisan Dr. Suh Inwoo tertempel di atas pintu.

Beberapa saat kemudian ia keluar lagi dari ruangan itu. Dengan beberapa informasi pastinya, ia terlihat sudah tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

"Kamu harus selamat, dik." ia bergumam.

Dengan langkah mantap ia bergerak cepat.


Lelaki itu,



Kim Seokjin






Tbc




Haiiii
Aku up dua kali hari ini😌
Dan empat hari lebih cepat dari jadwal
Karena aku takut kalo nanti2 suka lupa
Aku pernah bilang kalo aku petani kan yak?
Jadi sekarang lagi musim tanam dan jarang pegang hape
Seringnya pegang pupuk😅

Buat seterusnya aku akan up random tanpa jadwal2an
Pusing weh ngejar dl😅😆 /emang apaan ca de-el de-el segala😂/

Tapi yaudahlah
Aku emang lebih suka up secara random
Biar ada efek kejutannya gitu😅😂😂

Udah. Gt aja😁

Terimakasih sudah membaca🙏

Eh, aku g janji up cepet ya, soalnya ya itu tadi, lagi sibuk-sibuknya

Last BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang