16

671 59 24
                                    

Hati-hati sama typo






Dua jam sebelum tengah hari. Matahari sama teriknya seperti sebelum-sebelumnya. Jalanan meliuk-liuk menanjak menuju atas bukit. Sepeda motor Suga berjalan ngebut diatasnya. Mencoba menyusul mobil hitam didepannya.

Jajaran pohon pinus memagari jalan. Meskipun matahari tinggi menantang tak gentar, tetapi disini udara terasa sejuk. Bukit di sisi kanan mereka lebat oleh semak. Kadangkala terdengar suara hewan liar tanpa penampakan wujud. Jalanan sepi. Tak ada satupun kendaraan yang mereka temui. Samar-samar dalam ingatan, Suga merasa familiar dengan jalanan ini. Sementara di belakang punggungnya, Jimin tahu mereka ada dimana. Saat ini matanya menatap kosong kearah bukit. Disudut ingatannya yang paling dalam, Jimin dapat melihat kobaran api dan desiran peluru yang mampu membuatnya menggigil.

Namun bukan itu poin pentingnya. Untuk apa orang-orang Cerdors datang ketempat ini? Itu akan segera mereka ketahui setelah sampai di penghujung jalan. Jimin mengeratkan pegangannya pada Suga seiring laju motor yang semakin cepat.

Ketika mobil didepan mereka terlihat melambat, Suga menghentikan motornya. Dan seketika itu juga ia terpaku. Didalam kepalanya secara tiba-tiba seakan ada tuas yang ditarik dan memutar semua kejadian-kejadian pahit dalam hidupnya. Sebuah kenangan tentang ruangan yang tak pernah ada cahaya yang menerangi. Pukulan-pukulan yang bahkan masih ia rasa perihnya hingga kini. Sampai rasanya ia ingin lari, pergi dari sana secepatnya.


Karena, pintu yang sedang orang-orang itu gedor adalah pintu rumahnya. Dulu.


Suga sudah tidak bisa fokus lagi pada tujuannya kemari. Ia hanya bisa merasakan pedih yang mencakar-cakar jiwanya hingga hampir gila, membuat inderanya mati rasa. Ia seperti kehilangan kontrol atas tubuhnya yang tiba-tiba kebas dan tak bisa ia gerakkan.

Ia tidak mau kembali ketempat itu. Sementara kini ia kesulitan bernapas. Tidak ia sangka kenangan dari tempat itu terlalu kuat sampai mampu mendorong traumanya muncul lagi kepermukaan. Menciptakan lubang besar yang menyedotnya masuk dan tidak ada seorangpun yang bisa menariknya keluar. Bahkan dirinya sendiri.



"Hyung! Hyung!"


Seakan ada tangan tak kasat mata yang menarik kesadarannya ke permukaan, Suga mendapati Jimin yang menatap kearahnya dengan wajah khawatir. Bayangan-bayangan hitam yang meneriaki dan memukulinya dengan kejam lenyap begitu saja. Digantikan wajah kemerahan Jimin yang terpapar udara dingin.

"Apa kau baik-baik saja? Wajahmu pucat."

"Y-ya. Aku baik-baik saja. Mungkin tadi aku terlalu ngebut." kata Suga sambil mengusap pelipisnya yang banjir oleh keringat.

"Apa kau ingin muntah?" Jimin masih kelihatan khawatir. "Apa kita pulang saja?"

"Bodoh! Bagaimana mungkin kita pulang ketika sudah sampai disini? Ayo, ayo kita cepat sembunyi sebelum ada yang melihat." Mengabaikan perasaan-perasaan tidak nyaman di hatinya, Suga mendorong motornya kearah semak yang tinggi, sehingga dapat menyembunyikan keberadaan mereka. Ia tidak mau semua yang telah mereka rencanakan hancur berantakan hanya karena egonya yang tidak menginginkan ia mendekati rumah itu.

Sementara Jimin mengamati punggung Suga yang tingkahnya aneh hari ini, orang-orang beberapa meter di depan sana sudah setengah menghancurkan pintu depan rumah itu karena sepertinya si penghuni tak kunjung keluar.

Suga mengintip dari balik semak dengan Jimin disampingnya mendelik kearah depan mencari tahu apa yang terjadi. Bos wanita organisasi terlihat berdiri bersedekap sementara kedua pengawalnya berusaha membuka paksa pintu. Tiba-tiba dari arah dalam muncul seorang lelaki yang sudah agak bungkuk jalannya. Mengenakan baju cokelat lusuh dan celana hitam pendek selutut. Rambutnya ikal panjang riap-riapan, sementara jenggot dan kumis yang lebat menyembunyikan wajahnya.

Jimin merasakan Suga terkesiap disampingnya. Dan Jimin jadi penasaran sekali, apa yang disembunyikan hyungnya sejak tadi. Apa ada hubungannya dengan orang gondrong seperti tunawisma di depan sana?

Jimin tak bisa memikirkan alasannya sekarang, karena ia dikejutkan oleh suara benturan dari depan sana. Dilihatnya lelaki berpakaian kumal itu disiksa oleh orang-orang Cerdors. Barulah ketika si wanita mengangkat tangannya, mereka berhenti memukuli lelaki tua tersebut.

Si wanita mendekat dan mengatakan sesuatu—tidak kedengaran oleh Jimin dan Suga karena jaraknya lumayan jauh—yang membuat kedua pengintip merasa penasaran setengah mati. Sementara lelaki tua itu terengah-engah memegangi perutnya yang baru dihantam pukulan bertubi-tubi, wanita dan pengawalnya berbalik menuju mobil yang mereka parkir di halaman.

Namun di undakan tangga, wanita itu berbalik, mengeluarkan sesuatu dari lipatan gaunnya, mengacungkanya pada si lelaki tua, lalu—




Dor!




Lelaki itu tak bergerak lagi.


Jimin menutup mulutnya ngeri. Suga di sebelahnya tidak kalah shock. Pria itu membelalakkan matanya. Tremor mendadak menyerang kedua tangan dan lututnya. Secara tiba-tiba perutnya mulas tanpa ia tahu penyebabnya.



Ia baru saja menyaksikan ayah kandungnya terbunuh.



Di depan matanya sendiri.




Tbc

Haii
Semoga memuaskan ya, soalnya diketik kilat bgt😁

Makasih udah nyempetin baca🙏

Last BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang