14

658 70 19
                                    

Hati-hati sama typo!







Terik siang ini memanggang penduduk Seoul. Panasnya membuat semua orang kepayahan sepanjang hari. Efek dari perubahan iklim yang sedang melanda dunia tak luput di rasakan jua oleh warga Korea Selatan ini.

Kendati terasa membara di siang hari, menjelang petang udara mendadak turun drastis. Angin dingin yang berhembus akan mampu membuat ngilu tulangmu.

Park Jimin atau yang lebih akrab dipanggil Jim oleh orang-orang disekitarnya, kini sedang menyusuri jalan menanjak menuju rumahnya sambil memeluk tubuh.

Jalanan sepi. Mungkin orang-orang lebih memilih menghangatkan diri dirumah masing-masing ketimbang berperang dengan udara dingin di luar.

Jimin sampai di teras rumahnya. Sepasang sepatu hitam yang sudah pudar warnanya tergeletak tak beraturan di depan pintu, menandakan kakaknya berada di dalam. Jimin memungut sepatu itu, menatanya rapi sebelum ikut melepas miliknya yang tak kalah buluk dan meletakkannya berjejer.

Ruangan hening di terangi sebuah lampu yang berpendar suram ketika Jimin masuk. Mengedarkan pandangan, tak ia temukan si kakak.

"Hyung?" Jimin memanggil. Sambil melepas jaket dan menggantung benda itu di gantungan baju yang menempel di dinding.

"Oi!" Si kakak menjawab. Lalu sosoknya muncul dari balik pintu kamar. Menggosok rambut yang masih basah menguarkan wangi shampo yang langsung memenuhi ruang kecil itu. Kaus putih polos dan celana training menggantung apik di tubuhnya.

"Habis mandi? Tumben hyung sudah pulang? Biasanya aku lebih dulu datang ketimbang hyung." kata Jimin sambil menuang air ke dalam gelas lalu meminumnya.

"Hm. Kantor tutup lebih awal hari ini. Si bos katanya mau ada pertemuan penting atau apalah itu. Sudah makan?" si kakak—yang diketahui bernama Suga—menyusul Jimin duduk lesehan mengahadap meja berkaki pendek yang di atasnya terdapat berbagai macam benda—beberapa gelas beserta teko, sebungkus rokok beserta pemantiknya dan sebuah kantong keresek berisi entah apa.

"Belum. Aku langsung pulang tadi." jawab Jimin sambil meringis.

Suga membuka kantong kresek di atas meja dan mengeluarkan isinya yang berupa beberapa gulung kimbab dan sekotak susu pisang. "Ini, makan! Habiskan, tadi aku sudah makan." Yang langsung di lahap Jimin dengan senang hati.

"Mwahasih hyung." kata Jimin tidak jelas karena mulutnya penuh makanan.

Ngomong-ngomong Jimin sudah berusia 19 tahun saat ini. Tubuhnya tidak lagi gemuk dan sudah bekerja sebagai pelayan di sebuah kedai teh di ujung jalan. Sementara Suga yang selisih dua tahun dengan Jimin, kini sudah dapat berbicara lancar semejak traumanya menghilang dan bekerja sebagi kurir disebuah kantor pengiriman barang.

"Hm. Tadi aku sempat datang ke tembok bayangan." kata Suga yang memandangi betapa lahapnya si adik makan.

"Afwa?" mata Jimin membulat. Beberapa butir nasi berhamburan dari mulutnya. "Bagaimana bisa hyung ke sana sendirian? Kan bahaya." Jimin berkata lancar setelah menelan makanannya.

"Tak apa, Jim. Lagipula hanya sebentar untuk melihat situasi, kok." Suga menjawab santai.

"Tapi tetap saja, kalau hyung tertangkap, bagaimana? Lalu apa hyung mendapat sesuatu?" Jimin berujar khawatir tapi ujung-ujungnya penasaran juga.

"Ya, beberapa penjaga berbicara tentang operasi."

"Operasi?" Jimin memicingkan mata penasaran. Sisa kimbabnya kini sudah tergeletak kembali di kresek, selera makannya hilang ditelan rasa penasaran.

"Hm. Tapi aku tidak tahu operasi apa."

"Hyung, mungkin ini kesempatan kita." tiba-tiba Jimin berujar, semangat.

"Kesempatan apa? Kita tidak boleh gegabah, Jim, atau rencana balas dendam yang sudah kita susun selama ini akan sia-sia. Kita belum tahu operasi apa yang mereka maksud." ujar Suga serius.

"Lalu bagaimana?" Jimin sudah cemberut.

"Setidaknya kita harus tahu operasi apa yang akan mereka lakukan. Baru kita akan tentukan tindakan selanjutnya."

"Berarti kita akan mengintai lagi besok?"

"Ya, kurasa kita lebih baik ambil cuti saja."

"Oke, hyung. Siap!"

Jimin selalu sesemangat ini kalau sudah urusan mengintai. Karena ia sudah tidak sabar untuk membalaskan dendam kematian ibu tercinta yang habis ditangan orang-orang organisasi itu. Bara semangat memancar di kedua matanya.

"Tapi kita harus sangat hati-hati. Kita tidak tahu apakah kita masih jadi buronan mereka atau tidak. Sekarang cepat mandi dan istirahat. Besok kita akan melewati hari yang panjang."

"Oke, hyung!"

















Sesosok tubuh ramping berbalut gaun hitam nan mewah berdiri menghadap jendela yang menampilkan pemandangan kota di malam hari.

Suara pintu diketuk mengalihkan perhatiannya dari indahnya kerlap-kerlip lampu dibawah sana.

"Masuk!"

Seorang lelaki berpakaian serba hitam masuk kemudian langsung menunduk dalam. "Saya menemukan jejak mereka, Madam!"

"Bagus! Terus cari mereka dan bawa kepadaku hidup-hidup!" Bibirnya yang indah membentuk seringai.

"Baik, Madam!"

Lelaki itu berbalik menuju pintu. Sebelum benar-benar keluar, ia harus menghentikan langkah karena sang Madam memanggilnya.

"Ya?"

"Apa ada kabar dari V?"

"Maaf Madam, tidak ada kabar apapun dari beliau."

"Baiklah. Kau boleh pergi."

"Baik."

Pintu berdebum pelan. Tumit sang Madam berputar membawanya kembali menghadap jendela. Bibir penuh nan indah itu menyunggingkan senyum. Matanya yang tajam menerawang jauh.




Tunggu saja, Park! Tak lama lagi anakmu akan menyusulmu.





Tbc





Haiiii
Apakabar semua? Semoga selalu sehat, ya
Akhirnya setelah bertahun-tahun aku muncul lagi😅😆
Maaf atas keterlambatan ini dan mungkin udah pada lupa juga

Ngomong-ngomong ada yang nyadar nggak kalo makin kesini gaya nulisku makin berubah?
Wkwk😅😁😂
Inilah guys definisi dari amatiran tuh😆
Aku ga nyadar kalo tulisanku berubah sebelum ada yang ngingetin.

Kalau ada diantara kalian yang nggak nyaman sama perubahan ini aku minta maaf ya, kalian boleh berbalik arah dan keluar aja
Soalnya nggak akan ada revisi😁😅

Udah. Gitu aja

Salam sehat. Semoga kita selalu terlindungi.

See u

Makasih udah baca🙏

Last BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang