Sepasang insan tengah berdiri sambil memandangi perkebunan teh yang indah dari atas pegunungan. Keduanya sama-sama mengakui keindahan yang ada di pandangan mereka saat ini.
Jika saja di waktu ini mereka sedang dalam kondisi yang berbahagia, pastilah mereka akan terus tersenyum lebar sembari Berpelukan mesra di atas rerumputan hijau segar. Apalagi, tempat ini adalah tempat istimewa bagi keduanya. Namun, sayangnya keadaan mereka tengah berbeda saat ini.
Mereka sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Ada sebuah masalah yang terjadi di antara keduanya. Namun, tidak ada sedikit pun tanda-tanda bahwa mereka akan menyelesaikannya. Sampai saat ini, mereka masih saling terdiam dan tidak mau membuka pembicaraan terlebih dahulu.
Hingga akhirnya, setelah bertahan dalam keheningan yang cukup lama, sang lelaki membuka suaranya. Dia tahu, bahwa wanita disampingnya ini tidak akan membuka suaranya lebih dulu.
"Indah ya," ucapnya, dan benar saja. Wanita di sebelahnya itu masih tidak mau bicara, bahkan hanya untuk sekedar menjawab pertanyaan sederhana darinya.
"Semua masih terlihat sama, saat terakhir kali kita ke sini. Tenang, dan nyaman. Tidak ada yang berubah. Hanya saja, keadaan kita berdua yang telah berubah," lanjutnya. Laki-laki itu menoleh, melihat wanita di sampingnya yang masih saja terdiam.
"Waktu berputar begitu cepat, seakan tidak mengizinkan kita untuk tetap bersama lebih lama." Laki-laki itu kembali memandang lurus ke depan.
"Dulu, kita di sini sebagai pasangan yang bahagia. Namun sekarang, kita di sini hanya sebagai teman yang terpaksa. Tidak lebih," ungkapnya.
"Andai Sang Pencipta tahu, bahwa kita begitu tersiksa dengan keadaan yang ada. Andai Sang Pencipta tahu, bahwa hati kita tidak pernah berubah meski kita tidak lagi bisa bersama. Dan andai Sang Pencipta tahu, bahwa keinginan kita hanya satu ... yaitu bisa tetap bersama." Laki-laki itu kembali menoleh, dan saat itu juga dia melihat butiran bening jatuh dengan cepat melewati pipi wanita di sampingnya.
"Luna," panggilnya. Kemudian dia memutar tubuh wanita itu, hingga kini mereka telah saling berhadapan.
Setelah itu dia mengambil perlahan tangan lembut wanita di hadapannya, dan digenggam erat olehnya.
"Mungkin ini jalan yang ditakdirkan untuk kita berdua. Harus bahagia dengan hidup di tempat yang berbeda dan menjalani kehidupan kita seperti semula. Sebelum kita bertemu, hingga akhirnya tumbuh rasa di antara kita." Lelaki itu menjeda ucapannya sejenak, dia menghapus air mata yang masih saja turun melalui pipi wanita itu di hadapannya, Luna.
"Aku mohon, jangan membuatku semakin berat untuk meninggalkanmu, dan jangan membuatku semakin merasa bersalah karena keputusanku. Aku tahu, aku telah egois. Aku lebih memilih meninggalkan, dari pada mempertahankanmu. Namun, aku tidak punya pilihan lain, Luna," lanjutnya. Dia menatap luna dalam, sembari tetap mengelus lembut pipi basahnya karena air mata. Luna menggeleng takpercaya.
"Kenapa kamu lebih memilih pergi Raf? Kenapa kamu lebih memilih meninggalkan aku? Kenapa? Kalau kamu memang tetap ingin pergi dari aku, kamu kasih tahu aku alasan yang logis untuk bisa aku pahami dan bisa aku terima untuk melepas kepergian kamu," ujar Luna. Suaranya kini melemah. Dia tidak lagi punya tenaga untuk berontak dan berteriak karena laki-laki di hadapannya ini.
"Tidak dengan alasan ingin pergi menenangkan diri, Raffa! Kamu pikir aku wanita bodoh yang bisa dengan mudah menerima alasan kamu yang konyol itu? Tidak, Raffa! Tidak! Hiks ... Hiks ...." Luna lebih dulu bicara saat Raffa baru saja ingin bicara. Dia mengelak alasan Raffa padanya. Karena dia pikir, alasan Raffa untuk pergi itu benar-benar tidak masuk akal jika memang dia mencintai dirinya.
Kini Luna mulai memberontak. Dia memukul-mukul dada bidang Raffa dengan sisa tenaganya. Dia tidak tahan lagi, dia menumpahkan apa yang selama ini dia pendam.
Hingga akhirnya Raffa menenangkannya, memeluknya. Meski Luna terus berontak kecil, Raffa tetap bertahan untuk memeluknya erat. Dan lama kelamaan, Luna mulai tenang. Dia tidak berontak lagi, tetapi masih tetap menangis yang terdengar begitu pilu di telinga Raffa.
Ini memang menyakitkan, Lun. Namun, aku tidak punya pilihan lain. Aku harus pergi, atau sesuatu akan terjadi. Maafkan aku, untuk saat ini aku harus menyakiti dan juga melukai hatimu. Kuharap, suatu hari kamu mengerti kenapa aku berbuat seperti ini, ujarnya dalam hati.
~End
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Antik
Short StoryBerisi kumpulan cerpen tentang kehidupan yang barangkali sering kita jumpai, bahkan mungkin pernah kita alami. Baca, dan pahamilah. Maka kamu akan menemukan makna tersirat di dalamnya. 😇😇