Dua Insan

359 6 0
                                    

"Sayang."

Seorang gadis menoleh dikala dirinya merasa dipanggil. Kemudian tersenyum lembut saat melihat siapa orang yang telah memanggil dirinya tengah menyindiri di taman belakang rumahnya.

"Ya, Ma."

Wanita berparas cantik kian mendekatinya. Mengusap kepalanya dengan kasih, lalu ikut serta duduk di sampingnya untuk memandang air mancur yang terpampang indah di depannya.

"Lagi apa kamu di sini, Sayang?"

"Nggak kok, Ma. Nia nggak lagi apa-apa," jawabnya.

"Benar?"

"Iya, Ma." Mira menatap anaknya dengan lesu. Sampai saat ini dia masih belum bisa masuk ke dalam dunia anaknya yang sesungguhnya. Dia masih saja belum bisa mengerti sifat tertutup anaknya yang paling terdalam.

Ingin rasanya dia menyelami kehidupan anaknya. Agar setiap saat dia bisa memahami apa yang tengah dirasakan oleh Sang Buah Hati . Namun, setelah berbagai cara dia lakukan, dia masih saja gagal.

Yang jelas, hanya satu yang dia tahu. Setelah malam itu , anaknya semakin tertutup pada orang-orang di sekitar. Termasuk pada dirinya.

"Mama tadi bikin kue, kamu mau coba?"

"Nanti saja, ya, Ma. Nia mau ke kamar dulu, ada tugas kuliah." Nia perlahan bangkit, lalu melangkah menuju kamarnya yang sebelum itu dia lebih dulu mengecup lembut kedua pipi Mira.

Lagi dan lagi, Mira hanya bisa menghela napas. Menahan rasa yang semakin lama menyiksa dirinya.

Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk putri kita, Mas.

***

Hatiku rapuh. Rasaku ikut lumpuh. Tidak lagi tersisa cinta yang tercipta. Tidak lagi terasa indah ketika dulu kesempurnaan masih ada. Kini, semua telah berbeda. Kebahagiaan telah musnah. Air mata terus berjatuhan bersama dengan kehancuran. Raga kian melemah bersamaan dengan kepedihan yang menyakitkan. Begitu pun dengan keistimewaan, yang saat ini tidak lagi ada. Dan hanya satu kata yang pantas menggambarkan semuanya. Yakni, Hampa.

Nia membereskan barang-barang kuliahnya, dan bergegas untuk kembali ke rumah.

Dia ingin segera berada dalam kamarnya, dan menghabiskan waktunya dalam kebisuan. Dia tidak suka berada di keramaian, karena itu hanya bisa membuatnya semakin lemah.

"Ni, lo mau ke mana?" Fira, sahabatnya sejak pertama kali masuk kuliah, menahan lengannya saat melihat dirinya sudah beranjak dari kursi.

"Pulang."

"Serius? Tumben banget. Emang nggak mau ke taman dulu?"

"Nggak. Aku mau pulang saja." Nia melepas tangan Fira dari lengannya.

"Duluan, ya." Nia kembali melangkahkan kakinya keluar ruangan. Namun, belum sampai dirinya keluar, Fira kembali berucap yang membuatnya menghentikan langkah.

"Lo kenapa, Ni? Ada apa?"

"You always know how I feel, Ra." Nia memberikan senyuman kecil untuk akhir pembicaraan mereka. Kemudian kembali melangkah meninggalkan sahabatnya.

***

Nia membuka pintu rumahnya. Dan aura yang terasa untuknya masihlah sama. Sunyi. Tidak lagi seperti dulu.

Baru saja dia melangkahkan kakinya pada anak tangga pertama rumahnya, dirinya mendengar sesuatu yang aneh di telinganya hingga membuat dia menghentikan langkah.

Dengan perlahan, dirinya mendekati asal suara yang sudah menyita perhatiannya. Dan dia berhenti saat menemukan seseorang di depan mata tengah menangis membelakangi dirinya.

Kumpulan Cerpen AntikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang