Regina

21 6 0
                                    


Regina berjalan di koridor sendirian, dengan tumpukan kertas yang berada di kedua tangannya, suara langkah kaki yang nyaring terhenti kala dia sampai tujuan.

Regina meletakkan tumpukan kertas itu di meja Bu Inan, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju kelas, dia tak berminat menuju kantin ataupun rooftop sekolah, tujuannya hanya kelas, dan melanjutkan pembelajaran yang sempat tertinggal karena tugas yang di berikan Bu Inan.

Langkah Regina terhenti, ketika ponselnya bergetar di dalam saku roknya. Dia melihat ponselnya, ada sebuah pesan masuk.

From: Bunda

Re, uang bulanan udah di kirim. Kamu belajar rajin – rajinnya, supaya bisa kuliah di tempat Bunda. Ingat juga jangan telat makan, jaga kesehatan baik-baik. maaf Re, Bunda belum bisa pulang ke Indonesia.

10.29AM

Regina diam, setelah membaca sederet kalimat yang di kirim Bundanya. Dia bingung, bingung ingin membuat eksperesi apa, dia ingin tersenyum karena Dara sang Bunda mengiriminya pesan, dia juga sedih kerena Dara belum bisa pulang mengunjunginya, ini sudah dua tahun Regina sendiri di Indonesia.

Ayah Regina? Ayahnya sudah meninggal sejak umurnya empat tahun. Kesepian ? tentu, Regina sangat kesepian karena sejak umur empat belas tahun dia harus hidup dengan mandiri dan tidak di manjakan.

Keluarga Regina bukanlah keluarga kaya, tapi penghasilan ibunya lebih dari cukup untuk keluarganya. Untung Regina anak tunggal, jadi tidak terlalu banyak pengeluaran yang di butuhkannya.

Regina menghela nafas berat, mulai melangkah lagi, tapi berbalik arah. Tujuannya sudah berubah, bukan lagi ke kelas melainkan ke rooftop.

Dia butuh teman curhat.

--0o0—

"Hayo, nonton apa itu?!"

Viko terlonjat kaget, hampir saja dia menjantuhkan ponselnya.

"Lo ganggu kesenengan gue aja," tukas Viko sinis.

Gadis itu menyengir dengan tampang polosnya, seakan tak ada yang terjadi.

"ngapai lo ke rooftop? ini lagi jam pembelajaran,"

Gadis itu mendengus tak suka, kemudia berkata, "Lo aja, di rooftop waktu jam pembelajaran. Sok menasehati orang lo curut,"

"Ya, suka-suka gue lah, emang lo siapa? Emak gue aja bukan,"

"Serah, emang kalo ngomong ama curut gak ada artinya,"

"Udah deh, lo balik ke kelas aja Fan,"

Fanesya mendengus untuk kedua kalinya, menatap malas wajah Viko. "Gue mau makan, belum sarapan dari rumah, gara-gara lo sih, ngajakin gue balapan," katanya.

"Kok gue, lo yang mau kan?" ucap Viko sambil menunjuknya dirinya sendiri.

"Udah, ngabisin energi kalo ngomong sama lo,"

Fanesya duduk di lantai rooftop, membuka sandwich-nya dan memakannya, matanya melirik sekilas ke arah Viko, Fanesya tertawa dalam diam saat melihat wajah Viko yang juga ingin sandwich.

"Lo mau?" Tanya Fanesya.

Viko mengelengkan kepalanya, padahal dari lubuk hatinya yang paling dalam dia ingin.

Fanesya tersenyum, kemudian mengambil plastik warna putih di sampingnya dan dilemparkan ke Viko. Spontan Viko menangkapnya dan melihatnya.

"Makasih Viko," ucap Fanesya.

My squadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang