Jadwal latihanku padat dan aku punya banyak hal yang harus kupelajari dengan baik. Kupikir, lulus tahap shikomi saja sudah cukup. Aku berlatih lagi dan memahami berbagai macam ilmu baru dalam satu bulan sebelum upacara peresmianku sebagai maiko. Itu akan jadi hari yang sangat spesial untukku, maka aku sangat fokus dan berusaha mempertahankan semangatku.
Betul sekali. Mari kita mundur ke beberapa tahun yang lalu, yaitu ketika aku hendak diresmikan sebagai maiko.
Akan tetapi, tidak dapat kupungkiri bahwa semua itu lama-lama melelahkan. Masuk minggu kedua, tulangku rasanya remuk semua. Aku bahkan tak sempat lagi menyediakan waktu istirahat untukku sendiri. Hiburanku cuma orang-orang ramah yang menyapaku sambil tersenyum seiring aku pulang ke okiya.
"Wah, kamu datang lagi ke sini, ya!"
"Aku cuma lewat saja."
Malam sesudah melaksanakan berbagai kegiatanku di luar okiya, aku akan selalu menyempatkan diri untuk mampir ke bar itu. Tidak benar-benar mampir, sih, seperti yang kukatakan tadi, aku hanya melewatinya saja dalam perjalanan pulangku. Aku terlalu sering lewat sana sampai aku tahu waktu-waktu berkunjung yang akan mempertemukanku dengan Dazai-san dan dua sahabatnya.
"Sini, sini! Odasaku dan Ango sudah menunggu-nunggu kedatanganmu!"
"Jangan bawa-bawa aku, Dazai..."
Ya, mereka adalah salah satu dari orang-orang ramah itu. Mereka baik hati dan lucu sekali. Aku akan bergegas pergi ke sini saat jam pulang agar bisa mengobrol dengan mereka dan tetap pulang tepat waktu.
Ya, itulah mereka. Oda-san (yang belum pergi) dan buku catatan kecilnya. Sakaguchi-san dan wajah merengutnya. Dazai-san dan topik-topik menariknya. Aku sudah tahu hampir semua isi buku catatan milik Oda-san, yang mana sebagian besarnya adalah coretan tak terbaca terkait novel yang ia tulis. Aku juga sudah paham bahwa, meski selalu mengeluh setiap aku diculik Dazai-san kemari, sebenarnya Sakaguchi-san senang aku bisa menemani mereka bertiga.
"Selamat malam semuanya," aku selalu punya tenaga untuk tersenyum bagi ketiga pria dewasa ini. Dulu, aku memang menargetkan isi dompet mereka ketika aku besar nanti, tetapi sekarang berbeda.
"Dari kemarin," ujar Dazai-san dengan ekspresi kekanak-kanakan, "calon maiko cantik kita ini selaluuu saja menanyaiku tentang Yokohama. Itu lho, kampung halamannya Odasaku."
Senyumku jadi melebar lantaran aku menahan tawa dan terkikik. Ah, Dazai-san memang suka begitu. Ini adalah salah satu caranya membuka topik. Padahal, aku cuma bertanya soal Yokohama sekali, itu karena ia sangat bersemangat kala menyebut tempat itu sebagai salah satu daerah yang pernah ia kunjungi.
Dari mereka bertiga, aku bisa tahu lebih banyak tentang berbagai macam hal. Aku mendapatkan kisah-kisah yang tak mungkin diceritakan oleh semua orang di okiya kepadaku, bahkan Kouyou-neechan sekalipun. Dari Sakaguchi-san, aku bisa tahu betapa sulitnya dunia pekerjaan. Dazai-san banyak cerita soal tempat-tempat yang ia datangi untuk urusan pekerjaan. Memang Oda-san adalah sosok yang paling pendiam di antara mereka, tetapi aku jadi bisa berlatih untuk menghadapi klien yang memang kurang suka bicara.
"Berarti sekarang saatnya kau yang cerita," kata Sakaguchi-san waktu itu.
"Ah, Ango saja," tangan kanan Oda-san menyalakan rokok.
"Tuh 'kan, Odasaku suka begitu deh," kalimat ini diucapkan dengan nada meledek oleh Dazai-san, "nggak usah sok misterius melulu, terbukalah sedikit. Fansmu tak akan berkurang, kok."
Oda-san menghela napas dan menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Aku memandangnya penuh harap. Ia akan bercerita, 'kan?
"Yokohama banyak laut dan kapal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Lights
FanfictionAku adalah tarian yang menyuratkan gegap gempita ruangan yang hingar-bingar itu. Suara shamisenku adalah karunia yang membentangkan senyum pada setiap wajah-wajah asing di ruangan itu. Seni adalah napasku, kebahagiaan adalah hidupku, sedangkan semua...