Kanzashi

318 61 25
                                    

Kisah ini terjadi ketika aku sudah lulus tahap minarai. Masih ingat tahapannya, 'kan? Pertama, shikomi. Kedua, minarai. Ketiga, upacara misedashi dan resmi menjadi maiko. Saat ini, aku sudah menjadi maiko. Upacara misedashi-ku baru saja berlalu beberapa hari yang lalu.

Sampai sekarang ini, gambar dari Oda-san pada malam di bar itu masih kusimpan di kotak kecil berisi barang-barang pribadiku.

Tarikan-tarikan garisnya memang tidak halus, tetapi gaya arsirannya itu, aku sangat menyukainya. Setiap aku bertemu dengan Oda-san lagi di bar itu, rasanya aku ingin memintanya menggambar kembali. Bukan aku, tentunya, aku ingin ia membuatkanku gambar-gambar pemandangan kota-kota yang pernah ia datangi.

"Ah, ternyata kau lewat sini sekarang."

"Oda-san!"

Pertemuanku dengan pemuda itu kali ini tidak terjadi di bar. Hari masih agak siang, senja belum menjelang. Aku tengah berjalan kaki untuk pulang ke okiya.

Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat Oda-san dan yukata-nya yang berwarna gelap itu. Rambutnya masih semerah kayu mahoni, hanya saja terlihat lebih berantakan. Kumis tipis dan sisa-sisa janggut yang belum tercukur habis membuatnya semakin tampak lelah saja. Hanya sepasang iris sebiru langit yang membuatnya terlihat cemerlang dan hidup. Tidak, ini bukan hanya perasaanku saja. Aku memang sudah lama tidak bertemu dengan Oda-san.

"Kok tidak pernah main ke bar lagi?"

Ditanyai seperti itu oleh Oda-san, rasanya aku ingin menangis.

Iya, aku sudah lama tidak pergi ke bar. Aku memang sudah berhenti ke sana karena suatu hal yang belum bisa kujelaskan di sini. Pokoknya, aku dimarahi Kouyou-neechan. Sejak peristiwa itu, aku baru bertemu dengan Oda-san pada upacara misedashi, selebihnya tidak pernah.

"Maafkan aku, Oda-san," aku memaksakan sebuah senyum kepadanya, "akhir-akhir ini, jadwalku sangat penuh."

"Sekarang lagi kosong?"

Pertanyaan itu diajukan dengan suara yang pelan sekali. Oda-san menunduk untuk bisa menatapku secara langsung, tetapi aku jadi canggung karena ia berdiri lebih dekat. Beliau ternyata tinggi, ya. Kulitnya yang kecokelatan sangat kontras dengan bedak putih di wajahku. Aku jadi penasaran, pekerjaan apa yang sebenarnya ia geluti, karena auranya terasa sangat familiar denganku.

"Iya, tapi sebentar lagi aku harus ke ochaya (kedai teh) untuk mulai bekerja."

Oda-san mengerjap beberapa kali kepadaku. Tangannya yang besar mengacak-acak rambut belakangnya, sementara ia melirik ke arah lain saat kami bertemu pandang. Sepasang bibirnya kembali bicara dengan pelan, seakan-akan ia sama canggungnya dengan aku.

"Ayo makan denganku sebentar," katanya.

"Oda-san?"

"Nanti kutraktir."

Suara geta-nya terdengar lambat ketika ia berjalan melaluiku. Punggung yang lebar itu menjauh pelan-pelan. Aku tidak salah dengar? Oda-san mengajakku makan bersama?

Ia berhenti dan menoleh kepadaku untuk bicara pendek, "Ikutlah denganku."

"Ikut ke mana, Oda-san?"

"Ikut saja."

Karena kupikir kami tak akan lama, jadi aku menurutinya. Setelah melangkah agak cepat, akhirnya aku berjalan bersisian dengan Oda-san. Sepasang safir itu melirikku sejenak, lalu pemiliknya menghela napas.

Jalan-jalan yang kulewati bersama Oda-san terasa sangat asing. Meski aku telah berusaha menghapal seluruh gang kecil di Miyagawa-cho ini, tetap saja aku tak mengenali tempat-tempat di sisi kiri dan kananku. Kami melewati kedai-kedai teh, menyeberangi jalan besar dan melewati gang-gang kecil yang gelap.

Red LightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang