Ketika sampai di stasiun tujuan, aku segera turun sembari menoleh ke arah kiri. Mencari Rafa yang keluar bersamaan dengan beberapa orang lainnya.
Senyumku segera terlukis di wajah ketika melihat ekspresi Rafa yang terlihat kurang nyaman. Segera aku panggil namanya. Rafa lantas menoleh, melambaikan tangan singkat lalu berjalan ke arahku.
"Ke arah sana, Kak, pintu keluarnya." ucapku, seraya tertawa kecil.
Rafa menatapku, "Oh?" langsung berputar arah, "Gue kira di sebelah sana." Aku tersenyum, berjalan beriringan dengannya.
"Gue gak nyangka, bisa sepadet itu." Aku menoleh. Entah mengapa aku sangat menyukai ekspresi yang Rafa berikan. Juga, sangat menyukai suaranya yang menurutku sangat cool. "Gue kira, kereta bakal sepi."
Aku memindahkan ranselku kembali ke belakang punggung, "Lo kenapa milih hari ini berangkat pake kereta, Kak?"
Rafa menoleh, sedikit mengangkat kedua bahunya seraya tersenyum kecil. "Pengen nyoba aja. Berhubung deket dari rumah."
Aku hanya mengangguk-angukan kepala. Keheningan mengambil alih selama berjalan di sepanjang peron. Dia sibuk memerhatikan suasana sekitar yang ramai. Sedang aku sibuk mencuri pandang ke arahnya.
Aku jadi berpikir. Mungkin akan mengasikan jika setiap hari seperti ini dengan Rafa. Membangun keakraban lebih dengannya. Dan mungkin suatu saat aku bisa....
Apaan sih, Kei.
Aku cepat-cepat menggelengkan kepala. Menepis semua pemikiran aneh itu. Tidak boleh hukumnya berharap lebih dengan cowok satu ini.
Lagi pula, apa yang aku harapkan?
Cukup mengaguminya saja sudah cukup untukku. Sedari dulu aku memang sudah terbiasa melakukan itu.
"Lo gak bawa payung?" Rafa bertanya. Memecah keheningan yang sedari tadi tercipta.
Aku mengangguk, "Bawa."
"Kok gak dipake?" Rehan melirik ke arah luar stasiun, "masih gerimis."
"Lo mau make payungnya?"
Rafa menggeleng, "Gak. Gue 'kan udah pake hoodie," Dia melirik ke arahku, "lo 'kan gak pake apa-apa, mending pake aja payungnya."
Aku tersenyum jahil, "Gue pake apa-apa kok," Aku melirik ke arah seragamku, "nih, gue make seragam."
Rafa tersenyum, walau sebelumnya terdengar decakan pelan. "Kata orang dulu, gerimis-gerimisan bikin pusing tahu." kata Rafa.
Aku tahu, dia menyinggungku. Jadi aku menoleh, "Lo aja gerimisan."
"Ya gue pake hoodie."
"Tapi gue males buka payung, gimana dong?" tanyaku meledek. Sesudahnya, aku tertawa kecil.
Rafa berdecak lagi, "Lo nih," dia berjalan mundur, membuka restleting ranselku. Aku reflek menoleh, ingin tahu apa yang dia lakukan. "Batu." katanya lagi, dengan payung berwarna biru di genggamannya.
Aku tersenyum. Pipiku menghangat bersamaan dengan dia yang membuka payungku.
"Nih," Rafa menyodorkan payung. Dengan senang hati, aku menerimanya. "Segala lo, Kak."
"Dari pada anak orang sakit?"
Aku tersenyum, "Thanks, by the way." Aku mendengar dia berdehem pelan.
Dan masih menggunakan payung, berjalan beriringan dengannya menjauhi stasiun, aku terus saja melirik ke arah Rafa menjulang.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
happy hours
Short StoryUntuk pertama kalinya, Kaila bersyukur datang terlambat. Copyright @2018 by Vanillopa