/8/

229 60 0
                                    

Setelah tiga jam berkeliling di Kebun Raya mencari bunga besar itu, cacing-cacing di perutku dan Rafa bernyanyi tidak bisa diam.

Akhirnya di sinilah kami, warung bakso pinggir jalan.

Mungkin karena sudah memasuki jam makan siang, pengunjung warung bakso cukup ramai. Membuatku harus bersabar menunggu pesananku datang.

Tapi sayangnya, cacing-cacingku tidak sesabar itu. Buktinya dia berkali-kali berteriak dan yang terakhir suaranya sangat memalukan.

Rafa bahkan sampai tertawa geli. Menatapku jahil, "Sabar, mba."

Aku tersenyum salah tingkah, "Ih, Kak Rafa...." Rengekku.

Cowok di depanku terkekeh, "Emang tadi nggak sarapan?" Aku menggeleng, "emang kenapa?" tanya Rafa lagi.

"Ntar kebelet beol." Ceplosku yang detik berikutnya mengundang tawa Rafa meledak.

Aku yang sadar akan perkataanku barusan, segera membekap mulut salah tingkah. "Maksudnya sakit perut." Jelasku kelabakan.

Rafa yang masih terbahak membuat rasa maluku semakin menjadi. Ingin sekali menghilang dari hadapan Rafa kalau bisa. Tercoreng sudah namaku.

Tidak lama, pesanan kami datang. Yang berdampak pada tawa Rafa yang padam perlahan.

"Makasih, pak." Ucap Rafa disela nafasnya yang belum teratur.

"Makasih, pak." Ujarku mengikut.

Setelah sebelumnya tersenyum, bapak penjual bakso itu kembali ke gerobaknya untuk membuat pesanan yang lain.

Rafa menghela nafas sembari menggelengkan kepala, "Kaila, Kaila." Aku menoleh sesaat, "baru tahu kalo lo senyablak itu." Mendadak, kedua pipiku kembali memanas. "Padahal setau gue lo di sekolah tuh kalem banget."

Aku berdecak gemas, "Ih, kak. Udah apa...." Aku meraih sambal, "dari tadi gue diledekin terus."

Rafa menuangkan beberapa sendok sambal ke dalam baksonya lalu menatapku sesaat, "Habis lo lucu tahu, nggak? Asal nyeplos ngomongnya."

Sungguh. Rasanya aku ingin doraemon nyata agar aku bisa meminta alat yang bisa menghilangkan aku dari hadapan Rafa sekarang juga.

"Udah, ah. Malu tahu." Ucapku sembari mengaduk bakso.

Rafa terkekeh, "Ngapain malu?" dia memberi jeda untuk menelan bakso yang ada di mulutnya, "gue justru suka sama orang yang asal ceplos kayak lo gini. Lebih asik."

Dan detik berikutnya, senyum lebar tak mampu aku tahan, "Bisa aja lo, ah."

Rafa hanya tertawa kecil dan melanjutkan kegiatannya. Sedang aku masih mendengarkan dengungan kalimat terakhir yang Rafa ucapkan beberapa detik lalu.

Berarti ada peluang dong, Kak Rafa suka sama gue.

Tapi detik berikutnya aku justru menggeleng. Berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran seperti itu. Tidak mau terjerumus ke dalam lubang perharapan yang aku gali sendiri.

Bagaimanapun juga aku harus ingat kalau Rafa menyukai perempuan lain. Dan jelas bukan aku.

happy hoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang