Sepanjang jalan menyusuri jalan Jakarta, aku tidak bisa menarik bibirku untuk membentuk garis lurus. Lengkungan bibirku begitu jelas. Apa lagi dengan sengaja kedua mataku melirik ke arah tanganku yang digenggam Rafa.
Entah bagaimana semuanya mengalir begitu saja. Keakraban antara aku dan Rafa seolah cepat terbangun. Bahkan, bukan seperti teman lagi aku merasa, tapi sudah seperti pacar.
Aku sampai kewalahan menjaga hati agar tidak terlalu jauh berharap. Berulang kali harus merapalkan kalimat penentang teori yang sejak tadi berkeliaran di kepala; Rafa suka sama gue.
"Wih, rame juga." Gumam Rafa ketika sampai di area Kota Tua lalu beralih menatapku.
Detik berikutnya, ketika aku balik menatap Rafa, tanganku terlepas dari genggaman Rafa dan kecanggungan segera Rafa keluarkan. "Eh?" ujarnya salah tingkah, "sorry, Kai. Nggak sengaja."
Kecewa sebenarnya walau tetap aku menggeleng sembari melempar senyum terbaikku, "Santai."
Rafa tersenyum kaku, "Mau kemana nih?"
Pandanganku berkeliling. Mencari lahan kosong untuk mendaratkan bokong. "Duduk di situ aja, yuk!" ucapku sembari menunjuk tempat yang aku maksud.
"Duduk lesehan?" Aku mengangguk sambil melangkah.
Namun ketika aku hendak mendaratkan bokong, Rafa menahan pergelangan tanganku cepat. Katanya, "Ntar dulu," lantas keningku berkerut.
Keheranan melihat Rafa yang justru mengubek isi tasnya dan mengeluarkan hoodie biru lalu menggelarnya di bawah.
Jelas aku panik. "Ntar kotor." Ucapku. Berusaha menahan lengannya namun hoodie itu lebih dulu menyentuh tanah
Rafa tersenyum tipis dan mulai menduduki hoodie yang ia jadikan alas tersebut. "Lebih kotor lagi rok lo. Warnanya putih. Hoodie gue 'kan warnanya gelap, jadi nggak ketara banget kalo kotor."
Aku tidak bisa menyembunyikan senyum lebar dari wajah, "Makasih lho. Terhura saya." Candaku. Mengambil lapak di sebelahnya.
Rafa terkekeh, "Lo sering ke sini?"
Aku mengangguk, "Banget. Hampir setiap hari, waktu SMP, pas pulang sekolah gue main dulu ke sini."
Pandangan Rafa mengedar, "Biasanya ke sini ngapain?"
"Duduk-duduk aja. Liatin bule-bule." Jawabku ringan.
Rafa sepertinya tergelitik. Dari sorot matanya ia terlihat tertarik. Jadi ia bertanya lagi, "Ngapain liatin bule?"
"Cuci mata." Aku menunjuk salah seorang bule yang baru keluar dari café dengan hati-hati, "Tuh, kayak gitu, tuh." Rafa mengikut arah pandangku. "bikin mata adem. Mangkannya gue sama temen-temen SMP gue sering ke sini."
"Pas SMA, masih sering ke sini?"
Aku menggeleng sedang kedua mataku masih mengikut kemana arah bule itu melangkah, "Nggak. Ini pertama kalinya gue ke Kotu selama SMA."
"Kenapa?"
"Soalnya di sekolah udah banyak cogan. Jadi cuci matanya udah nggak usah jauh-jauh."
"Siapa aja emang cogan di sekolah kita?"
"Banyak." Aku menatap tanganku, mencoba menghitung dengan jari siapa yang masuk kategori cogan menurutku, "Ada Kak Bagas, Falah, Kak Rafa, Kak Pri—"
"Bentar-bentar," Potong Rafa cepat. Aku lantas menoleh, masih dengan jari di tangan kananku yang berdiri empat. "Gue?"
Keningku berkerut, "Apa?"
"Lo nyebut nama gue sebagai cogan di sekolah?"
Hah?
KAMU SEDANG MEMBACA
happy hours
Short StoryUntuk pertama kalinya, Kaila bersyukur datang terlambat. Copyright @2018 by Vanillopa