Kereta yang aku dan Rafa tumpangi tidak sepadat tadi pagi. Tapi tetap saja Rafa tidak mendapat tempat duduk dan mengharuskannya berdiri persis di depanku.Aku sudah berkali-kali membujuknya untuk bergantian tempat duduk denganku, tapi Rafa tetap kukuh ingin berdiri. Padahal aku tahu cowok itu lelah.
Kentara dari sikapnya sejak beberapa menit lalu. Beberapa kali aku mendapati Rafa memejamkan mata dengan kepala yang bertumpu pada lengannya yang menggantung.
Aku menghela nafas. Mencoba untuk menarik perhatiannya dengan sedikit menginjak ujung sepatunya pelan.
Rafa menoleh. Menatapku dengan kedua alis terangkat.
"Mau duduk, nggak?"
Tapi cowok itu justru tersenyum dan menggeleng singkat, "Bentar lagi nyampe." Begitu balasnya.
"Nggak pegel?"
"Nggak."
"Bohong."
Rafa mendengus geli, "Lo nggak tahu sejarah gue kelas sepuluh, sih." Aku menatapnya heran, menunggu dia melanjutkan ucapannya. "gini-gini gue sering dijemur sama Bu Ikma. Jadi udah biasa."
Aku menatapnya sangsi, "Masa?"
"Inget gue pernah tawuran? Itu jaman kelas sepuluh, gue lagi bandel-bandelnya banget. Pas mau naik kelas sebelas baru gue tobat. Baru deh, kelas dua belas udah beneran alim."
Aku tertawa kecil, "Jadi lo mantan bad boy ceritanya ya?"
"Bisa dibilang gitu." Jawabnya disertai kekehan geli.
Aku menatap bingkai yang aku genggam sejak tadi. Tidak menanggapi ucapan Rafa lagi.
Tersenyum tipis, aku mengusap sudut bingkai tersebut dengan ibu jari. Tergambar jelas di sana lukisanku dan Rafa yang tengah berpose bersama salah satu seniman jalanan di Jakarta Kota tadi.
Jadi, sebelum memutuskan untuk pulang, aku dan Rafa menyempatkan diri untuk mengambil gambar bersama seniman jalanan yang menggunakan kostum unik.
Dan setelahnya, Rafa memilih mengabadikannya dengan bentuk lukisan karena kebetulan di sana juga ada para pelukis jalanan. Yang justru hasilnya, ia berikan padaku.
Aku tidak mengerti tujuannya memberikan ini padaku apa, tapi yang jelas aku senang bukan kepalang.
Bahkan tanpa sadar bingkai tersebut enggan aku masukan ke dalam tas karena aku ingin selalu melihatnya.
Karena setiap melihatnya, kejadian hari ini terus terulang di dalam kepala. Dan aku tekankan sekali lagi, jika aku bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
happy hours
Short StoryUntuk pertama kalinya, Kaila bersyukur datang terlambat. Copyright @2018 by Vanillopa