/7/

242 61 0
                                    

Sebagai seorang cewek yang doyan selfie, tentu melihat lokasi bagus sepanjang perjalanan mencari bunga terbesar yang bau itu, aku jadi ngiler ingin mengambil gambar dengan aku yang berpose di sana.

Tapi karena aku yang terlalu segan menyuruh Rafa untuk memotretku, jadilah aku hanya selfie sendiri.

Ingin sekali ada Rafa yang menemani. Tapi aku tidak punya nyali untuk mengatakan, "Kak foto yuk!"

Selain karena malu, tapi kelihatannya Rafa juga tengah sibuk mengambil gambar sendiri. Bukan. Rafa tidak selfie sepertiku. Lebih tepatnya dia memotret tanaman atau pepohonan yang banyak bertebaran di sana.

Aku tersenyum dengan kamera di depanku. Menampilkan wajah sebaik mungkin. Dan...

"Bagus, Kai." Komentar Rafa tiba-tiba.

Aku reflek menoleh dan mendapati diriku ada di layar ponsel Rafa. Aku tersenyum malu, "Ih, iseng."

"Tapi bagus masa." Dia bangga sendiri. "Ini apa karena objeknya yang bagus, atau gue yang pinter motret?"

Aku tersenyum angkuh sembari menepuk dada kiriku bangga, "Objeknya yang baguslah."

Masih fokus pada ponsel, Rafa mengangguk-angguk. "Iya sih. Objeknya bagus, jadi ikutan bagus hasilnya."

Mendadak, perutku tergelitik dan bibirku yang berkedut. Aku lantas membuang pandangan dan segera mengekspresikannya sambil menjerit tertahan.

"Kai!"

Kaget. Wajahku segera kubuat normal dan segera menoleh, "Ya?"

Detik itu juga, bersamaan dengan aku menoleh, dengan cepat Rafa memotretku. "Kak Rafa, ih! Iseng banget deh jadi orang." Rengekku gemas.

Aku berlari mendekat, ingin meraih ponselnya agar Rafa tidak melihat wajahku yang pastinya aneh luar biasa.

Rafa terkekeh sembari menghindar. "Cantik. Seriusan."

"Bohong, ih." Ujarku.

Rafa menampilkan layar ponselnya padaku, "Tuh, tuh." Dia menjaga jarak agar ponselnya tidak bisa aku jangkau. "Imut, Kai. Lucu."

Aku merengek, "Aaaa Kak Rafa hapus...."

Rafa tertawa. Kepalanya menggeleng, "Mau gue simpen aja. Kenang-kenangan."

Bibirku mengerucut, "Jahat."

Rafa tertawa lagi. Tiba-tiba tangannya terulur mencubit pipi kananku sambil berdesis pelan, "Gemes gue."

"Ih." Ujarku tanpa bisa menyembunyikan senyum lebar di wajah. "Gombal."

Rafa memutar bola mata, walau senyum masih tergambar di wajahnya. "Susah jadi cowok mah. Mau jujur tapi disangkanya gombal terus."

Kali ini Rafa yang merajuk.

Aku terkekeh geli. Menyiapkan ponsel, aku menarik lengannya mendekat dan memberanikan diri mengucapkan apa yang aku inginkan sejak tadi.

"Selfie yuk kak, selfie buat kenang-kenangan."

Rafa terlihat tidak keberatan. Buktinya, tangannya segera bergerak melingkar di bahuku yang sontak membuat ritme jantungku meningkat.

Cekrek.

Cekrek.

Cekrek.

Aku memeriksa hasilnya. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis. Tidak menyangka sedikitpun jika akan seakrab ini dengan Rafa. Padahal, ketika di sekolahpun, aku dan Rafa hanya sekadar melempar senyum atau sapa biasa.

"Wih. Kamera lo pake efek apa? Gue jadi ganteng amat." Ceplos Rafa tiba-tiba.

Aku reflek tertawa, "Lo mah emang dasarnya ganteng."

Rafa berkaca pada layar ponselnya yang gelap, "Emang ya?"

Aku mendengus geli, "Foto lagi kak." Ujarku tanpa ragu.

Rafa merespon dengan baik. Dan lagi, tangannya melingkari bahuku. Membuatku menjerit keras dalam hati.

happy hoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang