/5/

266 68 0
                                    

Di dalam kereta tujuan Bogor ini, aku duduk dibungkus dengan hoodie milik Rafa sembari terus menyembunyikan senyum.

Semuanya bermula dari keterlambatan yang tidak diduga sama sekali itu, Rafa dan aku memutuskan untuk berkeliling tempat yang bisa dijangkau dengan kereta. Jadilah kita menuju stasiun.

Kata Rafa, "Hemat duit, jalan aja gimana ke stasiunnya?"

Tentu aku setuju. Bukan karena soal uang, tapi juga soal waktu yang menjadi lebih lama bersama Rafa.

Sepanjang perjalanan menuju stasiun, gerimis masih turun walau sudah berubah menjadi rintik halus. Banyak percakapan ringan juga candaan kecil yang tercipta. Dari sana, aku jadi tahu sedikit cerita tentang Rafa.

Tentang Rafa yang ternyata takut angsa karena trauma masa kecil. Tentang Rafa yang suka aroma bubuk kopi. Tentang hobi Rafa yang ternyata adalah solo traveling. Tentang Rafa yang ternyata pernah ikut tawuran. Juga tentang Rafa yang ternyata sedang mengagumi seseorang dalam diam.

Sempat membuatku penasaran kenapa Rafa tidak mau ambil langkah untuk mendekati si perempuan.

Dan kata Rafa, "Gue lagi nggak pengen ngurusin soal perasaan sih. Anggaplah gue ambisius, tapi gue lebih mentingin masa depan dulu dibanding urusan hati. Mungkin karena gue merasa gue punya tanggung jawab sebagai anak sulung buat jadi contoh yang bagus buat adik gue, jadi gitulah."

Jujur saja, mendengar jawabannya ada perasaan senang luar biasa. Maksudku, tidak salah aku mengagumi sosok Rafa. Soal dia yang menyukai perempuan lain, buatku bukan masalah besar.

Karena memang dari awal, tidak ada niat di hati ingin memiliki seorang Rafa. Jangankan memiliki, bisa sedekat ini pun aku sudah gembira luar biasa.

Apa lagi ketika masuk ke dalam gerbong kereta beberapa menit lalu. Rafa yang mungkin menyadari seragamku agak lepek akibat gerimis, segera melepas hoodie biru gelapnya dan menyerahkannya untukku.

Katanya, "Baju lo lepek. Bakal dingin kalo kena AC."

Aku benar-benar tersipu. Menghindari tatapannya, pandanganku berkeliling kereta sembari berkata, "Diliatin orang tahu." Ledekku.

Tapi Rafa terlihat tidak peduli. Dia justru menyampirkan hoodie birunya di bahuku, "Pake. Ntar masuk angin."

Aku menatap Rafa singkat, "Makasih, kak."

Rafa hanya mengangguk. Dan ketika aku hendak memakai hoodienya, tanpa berkata apapun, Rafa berinisiatif memegangi tas abu-abu milikku.

Aku hanya bisa menahan senyum. Sesekali mencuri pandang ke arahnya yang tetap diam memerhatikan suasana kereta yang masih ramai. Dan ketika kedua matanya melihat kursi kosong, pelan dia mendorong bahuku, "Duduk, tuh."

Karena tungkaiku yang serasa ingin copot, aku menurut.

Dan di sinilah aku sekarang. Berjarak sekitar tiga meter dari tempat Rafa berdiri, menyembunyikan senyum yang sejak tadi tak mau pergi.

happy hoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang