Pagi. Mentari mulai bersinar hangat meski musim dingin sudah tiba. Ini sudah memasuki bulan Desember dan tentu saja udara sudah jauh lebih dingin dari biasanya. Musim dingin yang membekukan.
Mata mengerjap saat terbuka. Masih setengah sadar dia merasakan sentuhan pelan di dahinya. Sentuhan seringan bulu. Terasa lembut. Kening mengernyit. Gadis itu membuka matanya. Mengumpulkan segala kesadaran yang ada.
Hal pertama yang dilihat kedua matanya adalah sosok berambut merah yang ada tepat di sampingnya. Duduk di sisi tempat tidur dengan sebelah tangan yang menyingkapkan rambut dari wajahnya. Sekali lagi. Mata mengerjap sebelum akhirnya senyum lemah itu tercipta.
"Akashi kun?" Suaranya pelan. Nyaris seperti sebuah gumaman. Tatapan matanya menunjukkan kelelahan luar biasa.
"Kau akhirnya bangun..." Sosok berambut merah itu tersenyum tipis. Sekali lagi, sebelah tangannya bergerak menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah sebelum akhirnya mendaratkan telapak tangan pada kening si gadis. "Kau demam," Keningnya sedikit mengernyit. Tatapan matanya terlihat seperti dia sedang menegur.
Gadis berambut hitam itu mengangguk sekilas. Tidak mengelak. "Aku lupa membawa payung kemarin," Dia menjelaskan alasan demam yang dideritanya. Suaranya terdengar agak sengau. Wajahnya sedikit merah. Keringat masih membasahi kening.
"Ceroboh." Akashi mendesah berat. Matanya menatap lekat. "Kenapa akhir-akhir ini kau mudah sekali sakit?" Itu adalah sebuah protes. Ekspresi wajahnya sedikit mengeruh, juga dengan kening yang mengenyit.
"Aku juga tidak tahu, memangnya siapa yang suka sekali sakit?" Dia membalas dengan suara pelan. "Kapan kau tiba, Akashi kun?"
"Beberapa saat lalu." Akashi sedikit bergerak, tangannya meraih gelas yang tak jauh dari jangkauannya. "Minum ini. Habiskan kalau mampu. Itu bisa membuat tubuhmu hangat."
Dia bergerak untuk menyandarkan punggung, lalu mengambil gelas yang diberikan padanya. Menyesap cairan hangat itu, perlahan. Benar. Rasanya hangat. Sungguhan hangat. Seolah hangatnya juga menyebar kedalam tubuhnya.
"Arigatou, ini enak."
Ada senyum kecil yang terukir saat si gadis memberi penilaian. Akashi kembali bergerak, kaki ini dia bangkit dari duduknya, berbalik. Namun, belum lepas kakinya melangkah, ujung kemejanya ditarik oleh lengan si gadis. Matanya menatapnya dengan binar yang sulit dijelaskan. Akashi mengernyit. Namun, perlahan, dia kembali berbalik, menghadapi si gadis yang tidak membuka suara sementara lengannya masih menarik ujung kemejanya.
"Aku akan membuatkanmu sesuatu, tunggu sebentar." Dia menjelaskan alasan kepergiannya. Suaranya lembut, dikatakan dengan sabar.
"Aku tidak lapar," Matanya menatapnya dengan tatapan yang sulit. Dia juga tidak melepaskan pegangan tangannya.
"Nami," Suaranya terdengar membujuk.
"Aku sungguhan tidak lapar. Teh jahe nya membuatku kenyang, sungguh..."
Melihat ekspresi seperti itu, juga mata yang bersinar sulit, Akashi mendesah berat. Kepalanya mengangguk kecil. Sebelah tangan bergerak buat melepaskan pegangan tangan si gadis pada ujung kemeja. Dia kembali duduk di tempatnya semula.
"Baik. Aku tidak akan kemana-mana. Jadi, kau bisa tidur lagi? Demamnya belum turun." Suaranya penuh kesabaran. Ekspresi wajahnya juga penuh kelembutan.
"Aku baru saja bangun," Dia sedikit mengeluh.
Akashi terkekeh pelan. Entah bagaimana, gadis ini masih saja keras kepala meski dalam kondisi sakit.
"Berbaring saja kalau begitu." Dia bicara sembari mendorong pundaknya agar kembali berbaring. Setelah si gadis berbaring dengan patuh, tangannya bergerak menarik selimut hingga mencapai leher si gadis. "Jangan sakit," Suaranya pelan. Terdengar seperti sebuah permohonan.

KAMU SEDANG MEMBACA
An Imaginary
Short StoryPemuda bersurai merah menyala itu bernama Akashi Seijuuro. Dia selalu punya cara agar tidak seorang pun berani membantah ucapannya. Entah bagaimana... dia seolah mempunyai sesuatu yang membuat siapa pun tidak bisa untuk tidak memberikan atensi padan...