Hari telah malam, tapi gadis di pinggir jalan ini tak ada niat sedikitpun untuk beranjak pulang, dia masih berdiri kebingungan di pinggir jalan seolah tak memiliki tujuan kemana ia akan pulang.
Gadis itu mulai duduk di pinggir trotoar tanpa mempedulikan tatapan risih dari pengguna jalan, dia terlihat menunduk seolah sedang merenungi sesuatu.
Sedangkan di sudut lain, laki-laki berjaket hitam yang sedari tadi menatapnya penasaran mulai beranjak menghampiri gadis itu. Laki-laki itu mulai duduk disamping sang gadis tanpa mengucapkan sepatah kata, hanya ada sunyi diantara mereka sekarang ini.
Dan suara kendaraan yang berlalu-lalang menjadi pendamping sunyi itu sendiri. Tak ada yang membuka suara, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing."ngapain malam-malam duduk dipinggir jalan kayak gini?"
Sang gadis yang ditanya hanya menoleh sekilas ketika baru menyadari bahwa dia tak sendirian disini.
"di sini dingin, lo gak kedinginan apa?" ucap laki-laki itu sambil melepas jaket yang dikenakannya dan menyampirkan pada pundak sang gadis yang masih setia pada diamnya.
"pulang yuk." ajak laki-laki itu sambil menarik tangan sang gadis, gadis itu hanya pasrah ketika tangannya ditarik oleh laki-laki yang sama sekali tak dikenalnya.
Mereka berdua berjalan tanpa tujuan yang pasti, cahaya redup lampu jalan menemani mereka. Menjadi saksi jejak-jejak kaki kedua orang yang tak saling kenal tapi berlaku seperti orang yang sudah tak asing lagi.
Tak ada yang pernah tau, bahwa semesta akan mulai merangkai kisah tentang dua orang itu sebagai tokoh utamanya, kisah yang tak pernah mereka sadari.
"kamu kenal saya?" tanya sang gadis tanpa menoleh sedikitpun ke arah orang yang ditanyakan.
"enggak."
"terus kenapa kamu mengajak saya untuk pulang? Sedangkan kamu gak kenal sama saya." tanya sang gadis lagi dengan raut wajah yang tampak bingung
"lo juga gak kenal gue, tapi mau aja diajak pulang bareng gue." jawab sang pria yang berhasil membuat gadis itu terdiam.
Cukup lama mereka kembali terdiam sampai laki-laki itu kembali membuka suara.
"Dirga, panggil gue dirga." ucap dirga sambil mengulurkan satu tangannya pada gadis disampingnya.
"Aozora, terserah mau panggil apa." jawab gadis bernama aozora itu tanpa membalas uluran tangan Dirga.
"Aozora... Nama yang jelek, gimana kalo gue panggil Joran aja? Kedengarannya cukup manis."
"kenapa Joran?"
"biar mirip sama lagu kesukaan eyang gue, jaran goyang." Dirga tertawa lebar, Joran ikut tertawa mendengar tawanya, seolah tawa dirga menular padanya.
"saya gak mau pulang." ucap Joran setelah tawa itu mereda.
"siapa bilang kita mau pulang?"
"tadi kamu ngajakin saya pulang."
"gue enggak tau alamat lo bego."
"terus tadi ngapain ngajakin saya pulang?" tanya Joran mulai bingung dengan jalan pikiran pria yang baru saja dikenalnya ini.
"tempat pulang bukan hanya rumah, Joran."jawab Dirga santai.
"terus?"
"Definisi tempat yang buat kita pulang adalah tempat yang buat kita nyaman, tempat yang menyalurkan kehangatan dan kasih sayang, hingga kita lupa dengan masalah-masalah kita. Dan gue yakin rumah lo gak termasuk dari definisi yang gue sebutkan tadi."
Joran tertawa mendengarnya, dia bukan tertawa karena perkataan Dirga, tapi dia menertawakan dirinya sendiri, menertawakan takdir yang sedang mempermaikannya. Jalan hidupnya begitu miris. Seolah tak ada bahagia yang pantas ia rasakan.
"kenapa ketawa?" tanya Dirga dengan dahi mengerut.
"kamu kalo ngomong suka bener."
Dirga terdiam, merasa perkataanya telah menyinggung perasaan Joran. "sorry sorry, gue enggak maksud nyinggung lo kok."
Joran mengangguk. "gapapa. Biasa aja kok."
"kita mau kemana nih?" tanya Dirga ketika kebisuan itu kembali menyerang mereka.
"bawa saya ke tempat pulang yang sesungguhnya." jawab Joran. Berhenti berjalan dan menatap Dirga lekat-lekat.
"mau ketempat pulang paling nyaman yang pernah ada?" belum sempat menjawab pertanyaan yang dilontarkan, Dirga segera mengenggam jari jemari Joran dan membawanya berjalan kembali.
Entah perasaan apa yang dirasakan Joran pada saat ini, tapi yang pasti dia tidak ingin waktu berjalan cepat, ia ingin tuhan menghentikan waktu pada detik ini juga. Apakah ini yang dinamakan bahagia? Kalau rasa bahagia dapat dibeli, berapapun harganya joran ingin membelinya.
Laki-laki itu seolah dikirim semesta untuknya, hanya hal sederhana yang ditunjukan laki-laki tersebut, tapi entah kenapa hal sederhana itulah yang sangat dirindukan Joran.
Ini yang Joran nanti dari dulu. Sebuah kebahagiaan dan tempat pulang yang sesungguhnya.
--*--
24 Oktober 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Definisi Pulang
Teen FictionSemesta membuatnya hilang sebelum pulang. Mengajarkannya bagaimana cara menerima kenyataan, walau yang dia temukan hanya kepahitan dalam kenyataan tersebut. Tapi tak apa, karena setidaknya setiap rasa yang dia jalani dalam hidupnya dapat membawany...