10. Menikmati kekosongan

26 7 0
                                    

Sehabis pulang dari pemakaman sang mama, Joran tak bicara apa-apa, dia lebih banyak diam. Sudah tak ada butiran-butiran airmata yang mengalir dipipinya, dia bahkan sudah lelah dengan hal itu karena sebagian hidupnya selalu butiran-butiran itulah yang mengisi hari-hari.

Sesampainya dirumah, dia langsung masuk ke kamar dan meratapi kesendiriannya sambil menatap langit-langit kamar hingga akhirnya terlelap karena kelelahan.

Rasanya kosong, tak ada lagi mimpi buruk tentang sang mama, karena semuanya berhenti sampai disini. Tak ada mimpi-mimpi indah tentang sang mama, karena dia tak pantas untuk itu, kata semesta.

Hanya gelap yang dia lihat ketika itu, tak ada rekaman-rekaman masa lalu yang sering membawanya pada mimpi buruk. Tak ada rekaman-rekaman harapan yang membawanya pada mimpi-mimpi indah, karena semuanya berakhir sampai disini.

Dia benar, mimpi buruk yang waktu itu bukanlah mimpi buruk biasa, namun sebuah pertanda. Sama sekali tak menyangka jika ketakutan akan mimpi itu akan benar-benar terjadi dan benar-benar dirasakannya. Kini dia harus mampu berdiri sendiri, karena memang kesendirianlah yang menemaninya selama ini, selalu ada disudut-sudut kehidupan, yang mengiringi langkahnya dengan tertatih-tatih.

Kini yang dia punya hanya diri sendiri, tak ada lagi yang merangkulnya keluar dari rasa sedih. Dia harus mampu bertahan, walau yang dia punya hanya jiwa putus asa yang dihiasi kekosongan, setidaknya dia memiliki penguat untuk sekarang ini, dirinya sendiri yang akan menjadi penguat itu. Walau dia tau perjalanan setelah ini tidak akan semudah yang dibayangkan, karena dia tinggal sendiri.

Masa-masa sulit menantinya diujung jalan, dan dia harus mampu melewati semua itu, walau yang menemaninya hanya sisa-sisa kekuatan yang perlahan-lahan mungkin akan lenyap.

Semesta benar-benar tidak becus dalam mengurus takdir, selalu saja takdir buruk yang menghampiri hidupnya, tak membiarkan takdir-takdir baik datang. Takdir baik memang datang, tapi itupun dapat dihitung dengan jari. Seberat apapun dia menderita, semesta masih enggan merasa iba.

Selalu menyuruhnya untuk sabar, sabar, dan sabar. Apakah mereka tidak tau, dia sudah melakukannya setiap hari, mau dia buktikan dengan cara apa lagi untuk semesta melihat penderitaannya dalam menjalani hidup? Yang jauh dari kata bahagia itu.

Lengkungan senyum sangat jarang terpatri diingatan orang-orang, karena memang kondisi hidupnya tak mampu membuat lengkungan itu selalu bertahan lama. Satu garis dibibir menjadi saksi, bahwa hanya derita yang datang bertamu lantas bertahan lama, dan bahagia jarang bertamu, sekali bertamu pasti akan pergi tanpa pamit.

Seperti sekarang ini, baru kemarin bahagia paling bahagia dia rasakan, namun kemudian pergi juga seperti bahagi-bahagia yang lain.

Baru kemarin dia merangkak dari penderitaan, namun kemudian semesta dengan ketidakbecusannya dalam mengurus takdir mendorongnya kembali dalam lubang penderitaan. Membiarkan dia yang telah susah payah merangkak meraih kebahagiaan, kini kembali jatuh dalam penderitaan itu sendiri.

Baru kemarin sosok yang dirindukan menghampirinya, namun kini sosok itu telah pergi pada dunia yang tak bisa dijangkau siapa-siapa yang masih ditakdirkan hidup. Kini sosok itu akan selalu menjadi kerinduan dihati. Kerinduan yang selamanya tak akan berhasil menciptakan temu.

--*--

Hari-hari berikutnya dia jalani dengan segala kekosongan yang benar-benar nyata. Seolah dia sangat malas untuk menjalani hidup. Yang dia lakukan setiap hari hanya makan, tidur, bangun, begitu seterusnya. Malam-malam dia selalu terjaga, mengingat sosok mama yang telah pergi sambil memandangi langit-langit kamar. Sekali lagi, hanya kekosongan yang menemaninya setiap hari.

Semenjak kematian mama, di sungguh tak bergairah dalam menjalani segala hal. Kondisi rumah makin sunyi semenjak itu, tak ada lagi suara tv yang terputar sambil menayangkan kartun kesukaannya setiap pagi. Tak ada lagi suara pecahan barang setiap malam kala mama dan papa bertengkar. Yang paling utama, tak ada lagi aksi kabur-kaburan setiap malam, karena tak ada alasan untuknya kabur dari rumah kala malam.

Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya, hanya sunyi yang menghiasi malam ini. Joran tak keluar dari kamar daritadi siang, ketukan pintu beserta sahutan Bi Sindi yang menyuruhnya makan selalu tak digubrisnya. Dia lebih memilih terlentang dikasurnya yang sudah beberapa hari ini tak dia rapikan sambil menatap langit-langit kamar.

Terdiam menikmati kekosongan yang menggerogoti hati. Pikirannya melayang pada sosok mama, kalau mengingat kembali bahwa sang mama sudah tiada selalu membuat hatinya terasa diremas. Dia masih menganggap sang mama hanya pergi sementara dan akan kembali setelah itu, tapi semesta selalu memaksanya menerima kenyataan bahwa sang benar-benar telah pergi dan tak akan lagi kembali.

Ketukan pintu itu kembali terdengar, kemudian disusul sahutan dari Bi Sindi. "Non Ara makan dulu, non belum makan dari siang. Nanti sakit."

Joran menghembuskan napas, lantas bergegas membukakan pintu untuk Bi Sindi.

"Ara nggak lapar, bi. Nanti aja." katanya lesu.

"tapi non Ara belum makan dari siang, nanti sakit loh. Bibi mohon jangan nyiksa diri kayak gini."

"Ara nggak napsu makan, bi."

"makan yah non. Kasihan loh bibi udah masak capek-capek nggak ada yang makan. Mana makanannya banyak lagi." muka Bi Sindi berubah kecewa.

Joran mendesah lelah. "kan ada papa yang makan masakan bibi."

"tuan belum pulang dari kemarin."

Joran menjadi bingung kembali dengan sang papa yang jarang terlihat semenjak mama meninggal. "papa kemana?"

Bi Sindi menggeleng. "nggak tau non."

"yaudah makanannya Bibi makan aja, kalo ada sisa taruh dikulkas, besok baru dipanasin lagi."

"tapi non Ara makan, yah." Bi Sindi masih sabar membujuknya.

"nggak, bi. Ara nggak lapar, Ara mau tidur aja."

"Bibi mohon non."

"sekali nggak mau yah nggak mau. Bibi nggak usah maksa!" bentakan Joran membuat Bi Sindi terperanjat.

Joran segera membanting pintu dihadapan Bi Sindi. Kemudian terduduk dibalik pintu. Dia mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia sendiri tidak menyangka bisa membentak Bi Sindi seperti tadi, emosinya benar-benar tak bisa dia kendalikan sekarang ini. Joran memilih menenangkan diri dengan tidur, berharap dengan begitu dia bisa sedikit lebih tenang.

Setelah dia terlelap, yang dapat dia lihat masih sama dengan malam-malam sebelumnya. Hanya gelap, tak ada satupun mimpi yang mampir disela-sela tidurnya. Padahal dia sangat ingin sang mama singgah dalam mimpinya, berharap dengan begitu rasa rindunya dapat sedikit terobati.

Hanya kekosongan yang selalu hinggap disana ketika dia terlelap, dengan cara ini semesta membuat dia perlahan mati. Yang dapat Joran lakukan sekarang, hanya menerima kekosongan itu dan berusaha menikmatinya sebagaimana yang diiinginkan oleh semesta.

Perlahan Joran terlelap, bersama kekosongan yang membelenggu hari-harinyan semenjak sang mama pergi.

Dan mungkin akan selalu membelenggu pada hari-hari berikutnya

--*--
14 Desember 2018

Catatan: yang pendek-pendek dulu yah:)(: semoga kalian dapat menikmati cerita ini. Untuk sementara kita move on dulu dari Dirga, karena sosoknya tidak akan muncul di chapter-chapter berikutnya.

Oke itu aja.

Selamat membaca.

Definisi PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang