Pernahkah kalian merasakan ada sesuatu yang salah dengan apa yang kalian rasakan? Perasaan tidak enak yang membuat kalian berpikir yang tidak-tidak. Joran sedang merasakan itu, ada sesuatu yang mengganjal dihatinya, membuatnya sibuk dengan pikiran yang ribut dikepala tentang ada apa dengan hal tak bernama yang dia rasakan ini? Rasanya ada sesuatu yang akan hilang, dan dia sendiri bingung sesuatu itu apa. Dia sibuk dengan pikirannya, saat itu juga dia teringat rumah. Bagaimana kondisi rumah sejak dia kabur tadi malam dan belum kembali, mama dan papa sekarang ada dirumah atau keluar seperti biasanya, apakah mereka mengkhawatirkannya atau tidak? Dia sibuk bertanya-tanya tentang kondisi rumahnya untuk saat ini.
Soal sang Papa, sudah dipastikan sama sekali tak khawatir dengan keberadaannya, karena sudah pasti dia sedang sibuk dengan anak dan selingkuhannya yang tadi pagi Joran lihat di toko kue milik Dirga.
Tapi soal sang Mama, sedang apa wanita itu sekarang?
Berbicara tentang sang mama, Joran kembali teringat tentang mimpi yang dialaminya semalam. Mimpi buruk itu pertanda, mau sebanyak apapun Joran tekankan bahwa itu hanya mimpi buruk biasa, tapi tetap saja Joran yakin itu adalah pertanda seperti yang dia rasakan untuk Bi Ima sebelum ini.
Segala pertanyaan perihal mimpi semalam datang berturut-turut membuat ruang dikepalanya penuh dengan pertanyaan demi pertanyaan itu. Salah satunya adalah, apakah mimpi itu akan menjadi nyata? Jika iya, Joran tak ingin hal itu terjadi pastinya. Dia belum melakukan apa-apa untuk membuat mama bangga padanya. Sang Mama belum membacakan dongeng pengantar tidur baginya seperti yang dia harapkan setiap malamnya dari dia kecil, belum mengantarnya ke sekolah dan menemaninya menerima laporan pendidikan disekolah setiap akhir semester. Dia belum melakukan banyak hal dengan Mama. Jika sang mama pergi, maka harus dengan siapa dia wujudkan hal-hal yang dia namakan harapan itu?
Joran terkejut ketika bahunya disenggol seseorang, membuyarkan segala pikiran yang ada dikepala. Dirga menatapnya dengan alis terangkat, sedangkan Asel telah terlelap digendongan Dirga, kelelahan sehabis bermain ditaman dengannya tadi.
"jangan melamun, ini tempat umum. Kalo tiba-tiba lo dijambret atau dicopet gimana?"
Joran mendelik. "kamu berlebihan, enggak mungkinlah sampai dicopet segala. Kalaupun dicopet kan ada kamu, saya yakin kamu pasti bakal kejar tuh copet, terus kalian bakal berantem sampai babak-belur."
"lo juga harus bisa jaga diri, enggak selamanya gue selalu ada disamping lo. Kadang jarak bisa datang kapan aja, dan kita harus siap dengan hal itu." ujar Dirga. Kata-kata Dirga mampu membuat lidahnya kelu. Dirga kadang bisa sebijak itu, tapi hanya kadang-kadang, karena yang sering-sering itu keusilannya bukan kebijakannya.
"iya, saya tahu. Pada akhirnya saya juga harus belajar berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain, karena enggak semua yang datang dapat menetap untuk selamanya." balas Joran, kemudian menunduk, mencoba memahami kalimat yang dia ucapakan barusan. Tidak semua yang datang dapat menetap untuk selamanya, apakah hal itu juga berlaku pada Dirga? Apakah dia juga tidak akan menetap untuk selamanya? Rasa-rasanya Joran tak ingin Dirga menetap untuk sementara, dia berharap Dirga menetap untuk selamanya, menjadi penguat diantara langkah kakinya yang berjalan mengejar kebahagiaan, karena menurutnya kehadiran Dirga mampu menguatkannya dari segala macam penderitaan yang di alami.
Dirga telah menjadi penguat baginya untuk sekarang ini.
"mikirin apa sih?"
Joran menarik napas. "mimpi semalam, saya takut jadi nyata. Saya belum siap, masih ada banyak hal yang belum saya wujudkan dengan mama, saya enggak mau dia pergi untuk saat ini atau mungkin seterusnya."
"jangan mikir yang enggak-enggak. Cuman mimpi biasa kok, enggak usah sangkut pautkan sama pertanda. Pertanda tuh enggak ada, itu cuman bentuk dari rasa takut lo pada kehilangan. Berpikir yang baiknya aja, lain dari itu dihapus, enggak perlu dipikirin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Definisi Pulang
Dla nastolatkówSemesta membuatnya hilang sebelum pulang. Mengajarkannya bagaimana cara menerima kenyataan, walau yang dia temukan hanya kepahitan dalam kenyataan tersebut. Tapi tak apa, karena setidaknya setiap rasa yang dia jalani dalam hidupnya dapat membawany...