And This is How It Starts

190 12 0
                                    

Omong kosong tentang masa SMA yang penuh dengan percintaan. Suatu pengecualian sepertinya untuk aku. Tak ada cinta pada masa itu. Atau mungkin ada, ya ada, hanya aku yang rasa entah dia rasa seperti apa.

Sebenarnya masalah paras, aku tidak masuk dalam kalangan kelas rendah, kok. Pada taraf cukup mungkin. Masalah otak?? Kalau boleh sombong, aku bisa dikatakan di atas rata-rata di sekolahku. Atau karena paras yang sedang-sedang saja tetapi otak tidak biasa yang membuat para lelaki malas mendekatiku, jika aku boleh sombong. Ah biarlah, masa SMA juga sudah lewat.

Biar aku berimajinasi di dunia perkuliahan ini, di kampus ini. Tau motivasiku masuk kampus ini? Aku, mencari sesosok lelaki yang akan kujadikan langitku, yang akan kudeskripsikan keindahannya tiap kali aku memandangnya, sama seperti langit senja atau langit malam, bahkan langit siang. Langit yang menjadi favoritku.

***

Matanya memejam, kepalanya menunduk. Takut. Dia remas lagi kedua tangannya, kuat kuat, hingga buku-buku tangannya terlihat. Sambil menahan rasa sakit di kedua kakinya yang telah lama menopang tubuhnya, ia tetap kuat, walau efek cedera kakinya masih tetap terasa.

Malam itu, untungnya bulan bersinar terang. Bintang bertebaran di langit Bandung, indah sekali langit malam itu. Sayang, dia, sang pengagum langit, Layka Azalea tidak bisa menikmati langit Bandung malam itu. Masih dengan rasa takut dan kantuknya, ia coba tetap fokus.

"Fokus, Mba! Mas! Untuk apa kalian ikut osjur ini? Jawab!"

"Saya sudah bilang sebelumnya! Setiap pertanyaan, harus ada jawabannya?"

"Danlap kalian bertanya! Jawab!"

"Buat apa acara-acara hari-hari sebelumnya, kalau sekarangpun kalian masih belum sigap!"

"Saya ulang sekali lagi! Setiap pertanyaan, harus ada jawabannya!"

Kemudian riuh pecah suara senior-senior yang sedang meng'orientasi'kan juniornya. Bersaut-sautan dari ujung kanan depan, kemudian ke kiri depan, tak luput yang belakang ikut berteriak. Hilang sudah indahnya malam itu, temaram malam, langit jadi kelam, mencekam. Pepohonan-pepohonan di sekitar, juga angin yang berhembus seolah mengalah, tak ada suara dari mereka, hanya teriakan-teriakan senior yang masih bergema.

Layka masih meremas erat tangannya. Dia genggam tangannya, dan dia kepalkan erat-erat. Hampir menangis dia. Namun, untuk apa? Jika dia menangis, hanya menambah kericuhan, menambah masalah. Biarlah ia tahan rasa takut itu.

Masih dengan keriuhan para senior yang menuntut jawaban dari para juniornya, gerimis mulai datang. Rintik-rintik kecil. Ah, jika malam itu bukan malam kaderisasi, mungkin hujan kala itu suatu hal yang indah, menenangkan. Sudah lama tidak turun hujan di Bandung.

Para junior diperintah untuk mengeluarkan spek ponconya. Disuruh untuk memakainya, agar tidak basah bajunya, takut mereka sakit. Senior mana yang mau disalahkan jika juniornya sakit. Bagus memang para senior ini berpikir, bisa dijadikan alasan jika nanti ada yang sakit, "kami telah melakukan pencegahan, sudah kami perintah kalian memakai ponco"

"Ah sial! Gue ga bawa ponco. Mana pusing pisan ini teh."

Terdengar sayup-sayup suara teman perempuan Layka di sebelahnya. Layka bergeming, apa yang harus dilakukan? Layka juga kedinginan, tapi Layka sebenarnya cukup kuat dengan imun tubuhnya, yang sudah terbiasa main hujan-hujanan di kampung halamannya dulu.

"Pake punya gue aja."

"Hah?"

"Udah pake aja. Santai, jaket gue agak tahan air. Udah buruan pake, ga usah berisik, males ditegur kakaknya."

Untungnya masih ada satu teman lelakinya yang peka. Layka juga lega hatinya.

"Kenapa kamu ga pake ponco kamu?!"

"Saya lupa ga bawa, Kak."

"Kenapa lupa? Teman seangkatan kamu ga ada yang kasih tahu?!"

Kemudian pecah lagi riuh dari para senior, menyalahkan ke-solid-an angkatan mereka. Kali ini lebih keras, bersautan dari sana sini. Layka semakin bergetar, para senior berkumpul di dekat si lelaki pemberi ponco itu yang notabene di belakang Layka. Bentakan-bentakan, teriakan-teriakan ketidakpuasan senior pada angkatan kami memuncak. Layka sudah ingin semua ini diselesaikan. Dia jenuh juga takut.

Mungkin si lelaki pemberi ponco juga sudah lelah, akhirnya dia menjawab, "Teman seangkatan saya sudah mengingatkan, bahkan berulang kali. Tapi saya yang salah, saya yang mengabaikan. Bukan angkatan saya yang salah, saya yang salah."

"Kamu! Silakan ke belakang barisan!"
"Kondisikan!"

"Oh sial! Kenapa tidak bilang saja kalau ponconya dikasih ke Mba samping saya, mungkin jika dia bilang, hukumannya bisa ringan. Duh diapain dia di belakang", Layka membatin.

Malam masih panjang, pertanyaan-pertanyaan masih tetap dilontarkan pada junior. Dan senior masih menuntut jawab. Kerap sekali terdengar pernyataan, "Setiap pertanyaan harus ada jawabannya!"

Akhirnya malam osjur itu selesai pukul 01.00, para junior diarahkan ke jalan keluar hutan itu, tidak diarahkan ke kampus. Cari mati juga mereka jika pukul 01.00 masih berkeliaran di kampus, maklum jam malam masih berlaku di kampus ini, karena alasan keamanan.

Sebelum bubar, tiba-tiba muncul seorang lelaki, yang terlihat basah kuyup. Sepertinya dia lelaki yang tadi berdiri di belakang Layka.

"Eh yang cowo yang bawa motor dan searah sama tempat kosan cewe, anterin cewenya. Pastikan aman sampe kosannya. Yang ga punya motor atau kendaraan pribadi lain, bisa cari yang searah juga sama cewe-cewe yang searah juga, naik taksi online atau apapun. Pokoknya pastikan cewe-cewe di sini aman sampe kosan atau rumahnya. Yang cowo juga jaga diri."

Kami membubarkan diri secara sporadis. Kebetulan Layka bawa motor dan untungnya ada seorang lelaki yang searah dengan dia, teman sedaerahnya, jadi si lelaki yang bawa motornya, diantar Layka sampai kosannya.

"Eh terus lu balik kosannya gimana?", tanya Layka.

"Gue bawa motor lu sampe kosan gue, ya? Gue balikin nanti pagi."

"Btw udah pagi, Pak. Hahaha. Yaudah bawa aja, nanti pagi jemput gue, ada gawe angkatan kan? Tadi dikasih tugas bejibun bener dah."

"Oh iya, mana deadline cuma dua hari. Ga mikir dah mereka. Gue pengen tidur asli. Lima hari terakhir kaya tidur cuma 3-4 jam."

"Yaudah sana pulang, tidur. Dahh"

Sebelum pergi, Bayu memastikan Layka sudah masuk kosannya dan aman. Bayuaji Abimanyu, teman sekelas Layka saat SMA. Kini mereka masuk jurusan yang sama. Walau tidak terlalu dekat saat SMA, tetapi ikatan batin teman sedaerah di perantauan memang beda dari teman-teman yang lain.

Beruntung Layka punya teman sedaerah. Tidak tahu lagi, jika dia tidak punya Bayu. Layka sempat cedera kakinya, saat acara-acara angkatan, dan pengerjaan-pengerjaan tugas angkatan tiga minggu sebelumnya dia tidak bisa ikut, jadi dia tidak cukup kenal dengan teman-teman sejurusannya, termasuk lelaki yang tadi meminjamkan ponconya, yang mau menyalahkan dirinya demi angkatan, yang mau di-apa-apa-in di belakang, dan yang mau memastikan para perempuan di angkatannya kembali dengan aman dini hari itu.

***
And this is how it start. Dunia perkuliahan ku akhirnya cukup berwarna ketika masuk jurusan.

Langit KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang