Sehari Bersama

34 6 7
                                    

Aku masih percaya, langitku adalah sebuah mahakarya Tuhan dengan keindahannya. AKu masih percaya, langitku diciptakan-Nya saat Dia tengat tersenyum bahagia. Karena apa? Karena dia dan parasnya yang rupawan juga pribadinya yang mengagumkan. Aku sudah pernah bilang, kan, dia memang semacam bad boy  dalam pertemanannya teteapi skala buruknya dia masih sewajar para lelaki pada umumnya. Dia bukanlah orang yang sangat religius tapi tidak juga orang yang buruk.

***

Setelah melakukan evaluasi terhadap jalannya acara kadwil hari itu, Layka melakukan wawancara dengan Aditya. Wawancara dilakukan kurang lebih empat puluh lima menit. Layka menjadi profesional jika menyangkut dengan jurnalistik, dunia yang ia senangi sejak SMA. 

"Ok! Terimakasih sudah menjadi narasumber saya untuk hari ini, Aditya Lazuardy."

"Sama-sama saudara Layka Azalea." Adit menampakkan senyumnya yang rupawan membuat lawan bicaranya tak dapat menahan senyumnya juga. "Kenapa mendadak pake saya sayaan si?"

"Oh, biar keliatan profesional juga. Lagipula hasil rekaman wawancara kali ini nantinya bakal dijadikan arsip jadi nggak etis aja kalo pake lo gua."

"Oh, ini saya udah bisa pake gua lo belum, saudara Layka?"

"Hahaha, Adit! Kan tadi udah gua bilang terimakasih, artinya wawancara kali ini udah selesai."

"Ya mana saya tahu saya kan maba."

"Lah udah tingkat dua juga weh."

"Maba jurusan, La."

"Udah semester dua juga di jurusan udah nggak mahasiswa baru lagi."

"Lah dibanding sama yang tingkat tiga baruan siapa coba?"

"Ya kita si..."

"Yaudah si."

Layka membereskan segala peralatan wawancaranya, bersiap untuk pulang menuju kosnya di daerah Tubagus Ismail.

"Balik dulu, ya, Dit?"

"Lah ya ayo bareng."

"Kos lu kan beda arah."

"Lah terus kenapa?"

"Ya-" belum sempat Layka menyelesaikan kalimatnya, sudah disambar oleh Aditya.

"Lagian gua butuh temen makan juga. Hehe. Temenin gua makan dulu lah di depan. Ayo! Gua laper banget nih." Adit memasang wajah memelasnya dengan bertingkah sangat lucu layaknya seorang adik kecil yang sedang merajuk ke Kakaknya. Adit memang pandai membuat segala jenis ekspresi, dari ekspresi kaget, ekspresi marah, ekspresi seram, ekspresi lucu. Dan semuanya ia lakukan tanpa mengeluarkan tawa padahal ekspresi lucunya memang sangat lucu, kelewat lucu jadinya terlihat sangat kocak. Layka tak bisa menahan tawanya. Segala tingkah Adit yang suka tiba-tiba memang selalu membuat Layka tertawa atau minimal membuatnya menyunggingkan senyum. Sudah sangat jelas, saat itu Layka tidak dapat menolak permintaannya untuk menemani Adit makan malam di depan kampus.

Adit yang sedang lapar, melangkahkan kakinya lebar lebar menuju depan kampus agar cepat sampai dan tidak mengantree cukup lama. Mobilisasi dia dari himpunannya seperti flow mobilisasi mahasiswa-mahasiswa yang sedang osjur, cepat dan tangkas. Layka hanya bisa mengintil di belakang dengan sedikit berlari karena langkahnya yang pendek, berbeda dengan langkah Adit yang panjang karena tubuhnya yang tinggi sehingga memberikan kaki yang panjang yang menjadikan langkahnya menjadi lebar pula. Menyadari akan kesulitan Layka menyamakan langkahnya, membuat ia menoleh ke belakang menunggu Layka ke tempat yang sama dengan Adit saat itu sambil tersenyum gemas, "Buruan."

"Gua juga udah buruan. Makanya kalo jalan ngga usah kaya kesambet setan angin aja."

"Mana ada setan angin. Hahaha." Mereka mulai melangkah bersaman, sekarang Adit yang berusaha mengimbangi Layka.

Langit KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang