Senja dan Mentari

61 6 8
                                    

Aditya Lazuardi, apapun yang dilakukannya tetap saja baik di mataku. Teman-temanku bilang, "Ah, lu mah emang baik-baikin semua yang dilakukan Adit."

Ya aku akui Adit memang bukan lelaki yang banyak disukai wanita, yang alim, suka ibadah, yang taat aturan, yang disukai para dosen, atau yang disukai senior-senior karena citra baiknya. Bukan. Salah besar. Aditya Lazuardi dan sifatnya sangat bertentangan dengan apa yang tadi aku sebut.

Aditya Lazuardi, representatif dari para kaum lelaki brengsek tapi baik. Bicara masalah sikapnya pada teman-temanya, dia benar-benar sangat jauh dari kata lelaki baik-baik, bahasanya kasar, pembawaannya sangat santai, tipe-tipe teman yang patut dihujat. Kalem? Ah jauh sekali dari sifatnya. Namun, jika mengenai wanita, dia sangat baik. Tidak terlihat memang perlakuan baiknya karena dibalut dengan pembawaan dia yang seperti itu. Sumpah serapah mudah sekali ia ucapkan, tapi tidak sekali-kali dia bicara kasar pada wanita. Pun pada orang yang lebih tua, sikapnya sangat hormat. Jika diperhatikan, dia sangat menghargai dosen-dosen pengajarnya. Lagi-lagi di mata teman-teman hal itu tak terlihat, lagi-lagi karena sifatnya.

***
"Bulan malu melihat kalian! Alam masih kecewa pada kalian! Lihat! Alam masih menangis karena kalian! Malam ini, buktikan pada alam, bahwa kalian layak berdiri di bumi ini, kalian layak menapaki bumi, yang katanya tongkat kayu bisa jadi tanaman."

Rintik hujan malam itu masih mengguyur kota Bandung. Layka dan teman seangkatannya sedang dikumpulkan di sisi yang tinggi dari kota Bandung, Lembang. Bandung sudah tinggi, apalagi di Lembang, suhu di Bandung sudah rendah, apalagi di Lembang, ditambah rintik hujan malam itu, udara dingin Bandung terasa menusuk sampai tulang.

"Kenakan spek ponco kalian! Kita akan jalan menuju puncak dari tempat ini."
"Kenakan dengan sigap! Bantu temannya yang kesusahan!"

Layka berdiri di paling ujung barisan, mengenakan ponconya. Sembari mengenakan, ia tak sengaja melihat ke sisi kanannya, ternyata ada langitnya.

"Pake dulu carrier-nya, baru ponconya" ia berkata pada Layka.

"Hah? Gimana?"

"Duh! Pake dulu carrier-nya, nanti ribet kalo lu pake ponco dulu, nanti harus disibak-sibak dulu ponconya. Ribet banget."

"Oh.." Layka mengambil tas yang ia letakkan di tanah. Sebelum mengenakan, ia menghela napas, sambel ngedumel, "Huh! Berat banget deh"

"Sini gue bantu. Lu menghadap depan deh." Adit mengambil tas Layka, mengangkatnya dan mencoba menempatkannya di punggung Layka. "Lay, menghadap depan Lay, buka ke arah gue."

"Hah? Gimana? Begini?" Layka sudah menghadap depan. Ia memang agak telmi, padahal intruksi dia sudah sangat jelas.

"Iya. Mana tangannya? Masuk sini" Layka menjulurkan tangannya ke lengan tas kirinya, "Satunya," kemudin yang kanan.

Layka mengenakan ponconya, mencoba merapikan bagian belakangnya tetapi tangannya kurang cekatan, sudah ada tangan Adit yang merapikan bagian belakang ponconya sehingga ransel Layka tidak kehujanan.

Malam semakin larut, amarah para senior semakin menjadi, tepatnya pada satu objek, Adit. "Waktu penugasan perkelompok kamu ke mana? Temannya disuruh kerja sendiri?!"

"Saya mengerjakan bagian saya, Kak, sehingga saya tidak melaksanakan tugas yang dikerjakan dia."

"Omong kosong kamu! Kalau memang nggak kerja, nggak usah cari alasan. Kami nggak suka sama kebohongan kalian. Tugas sepele seperti ini saja kamu bohong? Mana integritasnya?!"

"UDAHLAH KONDISIKAN AJA, SI ADIT!! SURUH SERI LAGI KALAU PERLU! SIKAT!"

INTERUPSI! INTERUPSI! INTERUPSI!
Lantunan interupsi dari semua penjuru barisan berkumandang. Teman seangkatan Adit tidak mau satu temannya kenapa-kenapa. Tak luput, Layka pun memberanikan diri untuk interupsi. Sialnya, dia yang kena tunjuk untuk berbicara.

Langit KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang