Runtuh

27 4 0
                                    

Hampir satu tahun sudah Layka mencicipi bangku jurusan. Dengan segala dinamika yang ia rasakan, baik itu menyangkut akademik maupun hatinya, ia selalu berusaha untuk bersikap ceria dan bahagia. Gambaran dia yang selalu heboh, menyapa teman-temannya atau kakak-kakak tingkatnya yang mulai banyak ia kenal tak mungkin ia hilangkan begitu saja karena ulah lelaki yang bahkan sebenarnya tidak ada hubungan apapun dengannya. Dia dengan segala pikirannya yang runyam merasa tak pantas untuk patah hati kepada seseorang yang jelas-jelas tidak melakukan apapun padanya, pikir dia. Ciuman lancang yang ia kira adalah buah skenario indah buatan otaknya tidaklah cukup menjadi alasan dia patah hati kala itu. Orang-orang akan mengatakan bahwa dia gila karena ia patah hati akibat segala skenario buatannya yang sangat bertentangan dengan kenyataan.

Pagi itu, dengan berat hati ia pijakkan kakinya di kampus 'kesayangannya'. Senyuman indah ia paksakan keluar dari dua sudut bibirnya yang ia tarik ke atas sambil sekuat tenaga menghela napas. Namun, senyumnya tak dapat mengalahkan langit yang kala itu sangat ceria, mentari muncul tanpa malu-malu tepat di  seperti di prakiraan cuaca, kini merangkak perlahan dengan sumringah berjalan dari timur menuju barat, perlahan namun pasti, menyapa tiap makhluk yang ada di alam raya hari itu. Langit yang begitu indah bertaburkan awan putih bersih dan latar birunya yang juga jernih, tak dapat Layka nikmati seperti biasa. Bentangan lazuardi itu hanya mengingatkannya pada lazuardi yang lain, yang sudah membuat berantakan hatinya di minggu sore kemarin.

"La" panggilan itu, suara itu, tak lain dan tak bukan adalah suara yang sangat ingin Layka hindari tetapi juga sangat ingin ia nikmati di setiap harinya, sebuah dualismse yang ironi.

Layka menoleh, langkahnya sudah dibarengi oleh Adit yang ada di sampingnya, sedang menyunggingkan senyum manisnya kepada Layka. Dengan sangat canggung, setelah kurang lebih tiga detik ia memandangnya hanya untuk verifikasi apakah Layka salah dengar atau tidak, Layka menjawab, "Hai"

"Apa kabar?" tanyanya. 

Layka tak lantas menjawab pertanyaan itu. Ingin rasanya ia menjawab bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja karena seseorang yang sedang bertanya padanya, tetapi apa haknya ia berkata demikian padanya. 

Dari rentetan pikiran yang mengganggu itu, Layka memutuskan untuk menjawab bahwa dirinya sedang baik-baik saja. Jawabnya datar dengan singkat, padat, tetapi tentu tidak jelas atau tidak benar, "Baik." 

"Gua lagi ngga baik-baik saja, La." Adit seolah menjawab sebuah pertanyaan padahal Layka tidak membalas bertanya.

"Kenapa?" Layka masih tidak mau melihat wajah Adit lagi dengan alasan ia tak mau tenggelam dan jatuh pada pikatnya lagi. Senyuman yang tadi sekilas ia lihat selama tiga detik itu, sempat meruntuhkan pertahanan hatinya.

"Look at my face."

Layka menoleh, sambil sedikit mendongak karena postur Adit yang lebih tinggi daripada Layka. Sorot matanya menajam. Raut mukanya yang datar berubah menjadi raut khawatir dibuktikan dengan kerutan di dahinya. Rasa penasaram bercampur dengan kekhawatiran yang tulus terpancar dari wajahnya, "Kenapa??? Lu abis ngapain? Kok bisa gini si? Adit, lu berantem?!"

Adit hanya membalasnya dengan senyuman, gemas melihat respon yang diberikan Layka. 

"Kok malah senyum-senyum ga jelas ih!"

"Lucu aja. Akhirnya gua melihat ekspresi dari wajah lu, ga cuma datar."

"Ck, jadi kenapa?" Layka masih mencercanya dnegan pertanyaan, ia menuntut jawaban.

"Biasa, La. Urusan cowo."

"Urusan cowo emang selalu diselesaikan dengan fisik gini, ya? Ngga bisa gitu dibicarain baik-baik?"

"Kalo gua mah ngomong baik-baik. Ngga tahu tuh si dia tiba-tiba pengen nonjok gua."

"Ih kesel. Siapa si!?"

Langit KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang