On The Night Like This

50 8 1
                                    

Bandung di malam hari menyimpan banyak cerita untukku juga langitku.

***
Bandung di bulan November sedang senang-senangnya disambangi hujan. Mungkin di siang hari langit cerah, tapi menjelang malam langit Bandung sering menumpahkan airnya. Sore itu, tanpa aba-aba, air mengguyur Kota Bandung. 

"Wah hujan nih, acara musiknya dibatalin nggak, ya?" Layka bergumam.

"Lah mana mungkin, Lay. Acara musik makin menjadi kalau hujan. Penontonnya semakin menggila. Orang yang ngeband juga makin semangat, balapan buat ngalahin suara hujan."

"Hmm. Ya, ini pertama kalinya gue datang acara beginian di Bandung."

"Wah parah banget, nanti kapan-kapan dah gue ajakin lagi."

"Hehe, tergantung nanti. Kalau asik, gue mau datang lagi!"

Sebenarnya dalam hati, Layka senang bukan main. Acara apapun, jika bersama Adit, dia pasti mau datang. Dikenalkan pada dunianya adalah impian Layka.

"Udah jam tujuh. Terjang hujan nggak nih?"

"Ayo!"

"Naik motor nih nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa!" (asal bareng Adit)

Adit mengambil motornya, menjemput Layka yang menunggu di tempat teduh.

"Gue lupa nggak bawa jas hujan. Nih pake jaket gue. Walau nggak seperti jas hujan, tapi lumayan bisa menghalangi air masuk banget ke tubuh(?)"

"Ta-"

"Nggak usah nolak, gue nggak mau disuruh tanggung jawab kalo nanti lu sakit. Buru pake, udah telat nih."

Layka memakai jaket Lazuardi. Layka memakai jaket yang sering membalut tubuh kekar lelaki idamannya itu. Wajahnya memunculkan semburat merah, sangat kentara walaupun malam gelap pun.

"Lay! Muka lu merah banget! Keguyur hujan gini udah langsung sakit, Lay? Lu nggak apa-apa, kan? Kalau ini nggak jadi nggak apa-apa juga. Kita pulang aja?"

Sial! Layka dikira sakit sama Adit, untung Adit tidak berpikir macam-macam.

"Hah? Nggak apa-apa kok. Serius! Lu salah liat kali, gue biasa aja weh. Tanggung jawab media partner nih." jawab Layka sambil menutupi wajahnya.

"Tapi kalo itu bahayain si peliput, ya nggak usah dilakukan."

"Asli gue nggak apa-apa, Dit," semerta-merta Layka naik ke jok belakang motor (cowo) Adit, "Ayo! Berangkat!" Layka menepuk pundak Adit.

Dalam hati Layka, 'anjir tinggi bet dah ni dudukan, hmm pegangan ke mana nih?'

"Langit lagi hujan, gelap. Lu masih tetep suka?"

"Suka, Dit. Apapun tentang langit, gue selalu suka. Langit menumpahkan segala beban yang sudah nggak sanggup mereka tahan ke bumi, dalam kasus ini adalah air yang sudah lama mereka tahan sebagai awan. Begitu pun manusia, kalau memang sudah nggak sanggup menahan masalah, yaudah ceritain aja dulu, tumpahkan semuanya ke orang yang memang mereka percaya, kaya langit ke bumi, gue yakin bakal ada sedikit beban yang hilang."

"Kayaknya gue harus cepat-cepat menemukan bumi nya gue."

'GUE SIAP, DIT! GUE SIAP JADI BUMI NYA LAZUARDI' seru Layka dalam hati.

"Gue suka banget sama Lazuardi." Layka bergumam di tengah hujan.

"Gimana, Lay?"

"Oh! Enggak! Itu, gue suka banget sama langit!"

Brrrmmmm, tiba-tiba Adit mengegas motornya, motornya melaju cepat.

"Lay, bentar lagi nanjak."

Lagi-lagi, Layka berkecamuk dengan pikirannya, 'anjirr lah gue pegangan ke mana, kalau ke belakang makin nambah berat badan gue ke bawah. Sabodo teuing gue tarik tasnya dah.'

Langit KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang