Kebetulan Bertemu

8 9 0
                                    

Setelah Rendi keluar dari kamar rawat inap yang hanya diisi Willy seorang, kini Tania dan Willy masih tak membuka suara. Melihat raut sedih dari sang adik membuat Willy tak kuasa melihatnya. Ia mencoba bangun dari perbaringannya untuk duduk bersandar. Dan menarik Tania yang berada disisi kanan ranjangnya untuk ia dekap dengan sayang.

"Udeh, nangis aja gak papa. Gue anggap itu tanda Lo ngomel sama gue." dan setelah Willy mengucapkan kalimat tersebut Tania mulai menguraikan air matanya perlahan dibaju sang kakak. Lama kelamaan tangisan Tania pecah dan sungguh menimbulkan suara nyaring yang membuat Willy ingin menutup telinganya.

Tania masih betah untuk tetap mendekap sang kakak yang sudah kewalahan dengan tangisan Tania yang tidak bisa berhenti dari beberapa menit lalu.

Willy mengelus rambut panjang Tania dengan sayang, ia tidak akan tega bila memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Bila hanya jatuh dari sepeda motor saja Tania sudah seperti ini, apa lagi jika ia tahu kalau Willy menyembunyikan hal lain yang akan mengejutkan adiknya nanti.

Ia tak akan biarkan siapapun memberitahu masalah yang ada pada dirinya kepada sang adik. Bahkan sang Papa saja ia tak beritahu. Hanya Rendi dan keluarganya lah yang tahu apa masalah rahasia Willy selama ini.

"Jangan bilang ke siapa-siapa ya kalau gue nangis." Tania berucap dengan susah payah karena masih terisak dengan tangisannya.

Willy melepas pelukan, ia menatap adiknya lembut dan tersenyum jahil. Tania tahu jika kakaknya ini sedang ingin bercanda, tetapi ini bukan saat yang tepat menurut Tania.

"Gak janji sih." ledek Willy berhasil membuat muka Tania berubah, yang tadinya berwajah sedih kini menampilkan wajah marah dan kesal nya kepada sang kakak.

"Wow, wow. Santai Mbak nya.. Hahahaha— aduh." melihat raut Willy yang kesakitan membuat Tania khawatir dan panik.

"Apa yang sakit?! Kak, bagian mana yang sakit?!" Tania mencari dimana letak sakit sang kakak, karena saat dilihat Willy memegangi perutnya dan menekan kencang.

"Kak! Gue panggil dokter ya, lo jangan kemana-mana!" Tania berlari menuju pintu keluar kamar, tapi sang kakak memanggilnya.

"Gue bercanda Tan. Haha, lucu ekspresi panik Lo." Willy merubah kembali raut wajahnya dengan cengiran lebar, dan berhasil membuat Tania yang memegang gagang pintu hanya melongo.

Tania kesal. Ia dikerjai lagi. Ia tadi seperti apa saat panik? Apakah wajahnya jelek? Ah dasar kakak kurang asem. Tania yakin, ia akan balas suatu saat nanti. Liat aja.

"Sini! Ngapain dipintu terus? Entar ada yang masuk aja." Willy kembali memanggil Tania untuk tetap berada disisinya, walaupun kesal Tania tetap berjalan dan kembali kesisi sang kakak.

"Awas Lo ya! Gue gak terima diginiin tau gak?! " dengan mata sembab dan hidung memerah, Tania mengomel. Menambah kesan lucu kepada gadis ini.

"Hahah.. Sorry deh ya. Gue gak akan ulangi kalau elo nya gak selucu ini." Willy menarik pipi tembam sang adik dengan kencang.

"A—sakit bego! " Tania melepas cubitan keras dari sang kakak yang kembali tertawa tidak jelas.

Sementara itu, Daniel dan Rendi yang beberapa menit bertemu dikantin rumah sakit ini belum juga membuka obrolan. Terlalu canggung untuk Daniel yang harus membuka obrolan, dan terlalu perduli jika Rendi harus repot-repot membuka suara demi cowok songong disamping nya ini.

Daniel dan Rendi masih terlalu fokus dengan ponselnya masing-masing. Karena sudah dari 15 menit yang lalu mereka menghabiskan makanan yang mereka pesan.

"Willy manggil gue." Rendi bersuara namun masih fokus dengan ponselnya.

"Ya udah, gue tunggu disini aja." Daniel yang tahu jika Rendi ingin mengajak untuk menuju kamar rawat Willy mencoba menolak dengan halus.

"Lo gak mau ikut? Ketemu Tania kan disana." Rendi masih berusaha mengajak Daniel. Dan menatap Daniel yang juga menatapnya.

"Dia lagi butuh waktu buat berdua sama kakaknya. Mending Lo bawain Tania makan, terus balik lagi kesini."

"Dari mana Lo tau gua kesini cuma nunggu mereka kelar ngomong?" Rendi bertanya heran dengan cowok songong yang ia tahu sebagai orang yang sudah menyia-nyiakan gadis cantik seperti Tania. Dan kini ia heran dengan Daniel kembali mendekati Tania.

"Gak penting Lo tau, mending bawa makanan yang banyak. Kelaperan entar anak orang. Abis Lo sama kakaknya."

Yang diucapkan Daniel benar, dari pada kepo dengan masalah cowok tersebut mending ia segera membawa makanan yang diminta Willy untuk adiknya.

"Beneran Lo gak mau ikut masuk?" Rendi bertanya memastikan.

"Nanti juga Lo bakal balik lagi kesini, yakin gue." dengan percaya diri Daniel berucap seolah memang mengenal Tania lebih dari sang kekasih.

"Kalau gue balik lagi kesini, Lo harus jelasin kenapa Lo  dulu pergi ninggalin Tania." ancaman dari Rendi membuat Daniel berdecak sebal. Namun, ia tak menjawab karena Rendi sudah terlebih dahulu pergi.

"Gue kan pacarnya, suka-suka gue lah." ucap Daniel kepada dirinya sendiri yang pedenya berlebihan.

Saat perjalanan menuju kamar rawat Willy, Rendi yang membawa kantong plastik yang berisi makanan disebelah kanan dan membawa dua buah jus mangga ditangan lainnya. Ia melihat seseorang yang ia kenal sebagai penguntit Tania saat disekolahnya. Setahu Rendi namanya adalah Fajar. Dan sedang apa Fajar duduk didepan kamar rawat yang khusus untuk orang pengidap jantung.

Rendi hanya melewati laki-laki tersebut, ia tidak ingin terlalu banyak memikirkan masalah orang lain. Cukup Willy dan keluarganya yang membuatnya pusing. Karena Ayah Rendi bekerja di rumah sakit ini, maka Rendi yang mengetahui mengapa Willy merahasiakannya dari Tania.

"Laper gue." cicit Tania yang menahan lapar sembari duduk di sofa panjang mendengarkan acara berita longsor yang ditayangkan di televisi kamar rawat ini.

"Gue udah suruh Rendi bawa makanan, tunggu aja. Paling bentar sampe." Willy hanya memainkan ponselnya yang mengeluarkan suara nyaring seperti pertarungan. Mungkin itu game yang sedang banyak dimainkan oleh sebagian besar orang.

"Gue keluar bentar ya, mau cari kak Rendi." tanpa persetujuan dari Willy, Tania sudah membuka pintu dan menutup setelah ia berhasil keluar kamar.

"Ah! Mana sih, si Rendi! Lama banget!" Willy yang sedang lemas hanya bisa berdoa semoga adiknya tidak kenapa-napa. Ia menghubungi Rendi agar menyusul Tania.

"Ren! Lo dimana sih?!" pertanyaan itu langsung ia ucapkan setelah Rendi mengangkat telepon.

"Gue udah sampe nih."

Dan benar saja, pintu terbuka menampilkan wajah Rendi yang sedang repot membawa makanan dan jus dimasing-masing tangannya.

"Adik gue keluar nyari Lo. Please banget Lo cari dia. Perasaan gue gak enak nih." Willy merasa panik sendiri hanya karena Tania keluar sebentar saja. Nalurinya mengatakan ada hal bahaya yang akan menimpa adiknya.

"Oke, bentar gue cari. Lo jangan banyak pikiran. Biar gue aja yang urus." Rendi melesat dan mencari keberadaan Tania.

"Thanks bro!"

Tania berjalan sambil bersenandung ria dan melihat-lihat desain indah dari rumah sakit ini. Ia mengikuti petunjuk kearah kantin, dan melewati kamar rawat khusus jantung. Disana ia melihat ada seseorang yang sangat ia kenal sedang duduk merenung, dia Fajar. Dan sedang apa ia disini? Dengan pakaian pasien seperti kakaknya. Disebelah cowok tersebut terdapat tiang infus dengan selang infus yang tersambung ke tangan sebelah kirinya. Tania berjalan mendekat.

"Fajar."

-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

Hello my friends!

Back to my story. 😂 yeyyy! Jangan bosen untuk terus ikuti ceritaku ya.. Aku minta saran dari kalian dong.. Biar cerita aku lebih menarik dimata kalian.

Jangan lupa vote-nya ya
👇👇👇👇👇👇

See you next chapter. 😘😘


















BULLSHIT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang