Panik

11 5 0
                                    

Tania berjalan sambil bersenandung ria dan melihat-lihat desain indah dari rumah sakit ini. Ia mengikuti petunjuk kearah kantin, dan melewati kamar rawat khusus jantung. Disana ia melihat ada seseorang yang sangat ia kenal sedang duduk merenung, dia Fajar. Dan sedang apa ia disini? Dengan pakaian pasien seperti kakaknya. Disebelah cowok tersebut terdapat tiang infus dengan selang infus yang tersambung ke tangan sebelah kirinya. Tania berjalan mendekat.

"Fajar." panggil Tania kepada laki-laki yang hanya memandang lantai.

Rendi melangkah cepat ke arah kantin mulai mencari sosok yang kini menjadi objeknya. Namun, yang dilihat hanya lalu lalang orang-orang yang tidak dikenalnya.

"Udah gue duga, Lo bakal kesini lagi." seruan itu berasal dari arah samping Rendi yang memang melewati tempat makan siangnya bersama Daniel.

"Lo liat Tania gak?" tanya Rendi to the point. 

Dahi Daniel berkerut sedikit, ia merubahnya dengan mengangkat alisnya.

"Gak." jawaban yang sangat singkat dan membuat Rendi berdecak kesal. Rendi putar arah menuju tempat yang lumayan jauh untuk menuju kamar Willy, yang melewati ruang khusus pengidap jantung.

Karena saat Rendi menuju kantin, tanpa pikir panjang ia memotong jalan agar cepat menemukan Tania. Dan ternyata dugaannya salah, Tania belum sampai ke kantin.

Ditempat ini, ruang khusus pengidap jantung. Tania merasa harus berhenti dan menyapa orang yang bahkan tidak ia ketahui latar belakangnya. Merasa yakin dengan penglihatannya, tanpa pikir panjang Tania menyebut nama yang telah lama hilang mengganggunya.

Laki-laki tersebut mengangkat wajahnya dengan kerut bingung menatap Tania yang juga terkejut salah tingkah.

"Lo siapa?" tanya laki-laki tersebut yang dipanggil Fajar oleh Tania.

"Eh—gue kira Lo temen gue dikelas, ternyata bukan ya? Heheh, maaf deh ya.." Tania sempat bingung dan heran. Pasalnya saat laki-laki tadi menunduk dan terlihat dari samping sangat mirip dengan Fajar. Cowok yang sudah beberapa hari ini seperti menghilang dan tak ada kabar.

"Dari mananya Lo lihat gue mirip sama Fajar?"

"Eh? Hmm.. Dari samping muka Lo." jujur Tania. Ia tak tahu kenapa merasa seperti sudah kenal dengan orang lain, biasanya ia hanya acuh.

"Gantengan gue atau dia?" pertanyaan laki-laki tersebut membuat Tania berpikir keras, ia tak mengira jika cowok yang baru ditemuinya bisa bertanya pede lebih dari Daniel mantannya itu.

"Tania!!" panggilan keras dan menggema dari arah belakang Tania membuatnya menoleh dan melihat Rendi berlari kencang kearahnya.

"Kak Rendi?! Kok lari-larian?! Apa terjadi sesuatu sama kakak gue?!" Tania panik dan melupakan laki-laki yang baru saja bertanya hal aneh.

"Bentar." Rendi mengatur napasnya terlebih dahulu.

"Gue nyariin elo kemana-mana. Di kantin gak ada, di parkiran juga gak ada. Eh ternyata malah pacaran disini."

"Dih? Gue gak pacaran, tadi gue kira dia tuh cowok sekelas gue yang rese, eh ternyata bukan." Rendi melirik ke arah laki-laki yang dimaksud Tania, ia juga berpikir jika dia yang dimaksud Tania sebagai Fajar. Nyatanya wajah mereka jika dilihat dari depan berbeda.

"Ya udah, gue udah bawa banyak makanan. Kita balik yuk ke kamar, kakak Lo ngamuk tadi."

"Ya udah, bentar." Tania memutar tubuhnya untuk kembali menghadap laki-laki asing tadi. "Gue balik ya, dan sorry soal tadi. "

"It's okey. Senang bertemu Lo. Nama gue Fajri." Laki-laki bernama Fajri tersenyum tipis kearah Tania.

"Gue Tania." tanpa basa basi lagi, Tania berbalik dan menuju ke kamar kakaknya tanpa membalas senyum dari Fajri. Rendi mengikuti dari belakang Tania.

Laki-laki yang bernama Fajri hanya menatap punggung perempuan tadi yang semakin menjauh di lorong rumah sakit, dan ia menyadari jika perempuan tadilah yang selama ini selalu diceritakan oleh kakaknya, Fajar.

-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

"Lo, kok bisa tadi gak ketemu gue? " Rendi bertanya disela Tania memakan nasi padang buatan kantin rumah sakit ini.

Willy hanya memperhatikan mereka yang duduk di sofa dengan makanan yang tersedia dimeja. Sedangkan Willy duduk santai di ranjang pesakitan dengan ditemani bubur yang disediakan rumah sakit. Walaupun enggan memakan, namun ia harus memaksa memakan bubur yang pantas dibilang kuah putih karena teksturnya yang encer. Dengan terpaksa Willy memasukkannya kedalam mulut agar lambungnya tidak kosong.

"Mana gue tau." jawab Tania acuh. Dan kembali melanjutkan mengunyah makanan yang ada didalam mulutnya, sehingga penuh dibagian kedua pipinya.

"Kak, Lo kapan balik ke rumah?"

"Papa tau gak, Lo dirawat?"

pertanyaan dari Tania membuat Willy dan Rendi bertatap serius. Mereka seolah berbicara dengan isyarat. Tania yang fokus kepada nasi padangnya hanya menunggu jawaban dari sang kakak.

"Kalau udah sembuh." jawab Rendi cepat tanpa pikir dua kali.

"Papa gak perlu tau, dia sibuk sama jadwal penerbangannya. Lo jangan ganggu dia, nanti biar gue aja yang bilang." Willy setengah yakin dengan ucapannya barusan.

"Perasaan Lo gak kenapa-napa deh kak. Malah gue perhatiin gak ada tuh satupun lecet dibagian tubuh Lo."

Sakmat.

Willy harus berbicara apa lagi? Ia sudah mengode Rendi agar membantunya saat ini.

"Dia tuh ajaib Tan, Lo gak perlu cari lecet dia. Liat aja mukanya udah pucet. Kayak orang anemia." Rendi tertawa renyah, dan itu berhasil membuat Tania tak ingin menanyakan perihal keadaan kakaknya.

Willy tersenyum puas, dan berterima kasih kepada sahabatnya. Ia merasa, berbohong adalah cara terbaik untuk kebaikan Tania. Ia tak ingin membuat adik kesayangannya menderita karena harus memikirkan dirinya.

Daniel masih betah menunggu di kantin dengan memandang kegiatan yang dilakukan beberapa orang di rumah sakit besar ini. Ia tidak bisa pulang lebih dulu, karena memang tidak membawa kendaraan. Salahnya yang memilih ikut dalam mobil Rendi. Di satu sisi, ia memikirkan keadaan Willy . Dan Tania. Sungguh, semua ini membuat kepala Daniel sakit dan menyebabkan cairan kental berwarna merah mengalir sedikit demi sedikit dari lubang hidungnya.

"Daniel!! Hidung Lo berdarah!!" Daniel yang sempat memejamkan matanya untuk  menahan rasa sakit kini kembali membuka matanya dengan terkejut atas perkataan orang yang sedang ditunggunya selama dua jam.

"Tania?!" Daniel segera menyadari dirinya, dan membersihkan darah yang keluar dari hidungnya menggunakan tisu yang diberi oleh Tania.

"Lo kenapa?" walaupun Tania membencinya, tapi rasa peduli terlalu besar untuk menanyakan tentang orang yang pernah menyakitinya.

"Udah mau pulang?" Daniel tidak menjawab pertanyaan Tania, ia mencoba tegar dan menampilkan senyum cerahnya.

"Udah. Gue kesini juga disuruh Rendi buat ajak Lo balik." Tania kembali ketus dan tampak acuh.

Daniel tersenyum lega, setidaknya Tania tidak bertanya lagi perihal darah yang keluar tanpa disadarinya.

Tania yang merasa terus dipandang sedekat ini memutar bola matanya malas. Ia mulai melangkah menuju keluar kantin, Daniel terkekeh dan mengikuti Tania untuk pergi dari tempat yang menjadi saksi atas kejadian dua tahun lalunya.

Masih dengan tisu yang menyumbat hidungnya, Daniel bernyanyi nyaring dibelakang kemudi. Tania dan Rendi yang mendengar hanya menahan agar tidak mencoba menjadi kanibal, karena harus memakannya hidup-hidup.

Mereka meninggalkan Willy sementara di rumah sakit, Tania yang meminta agar bisa menginap dan menemani kakaknya selama di rawat. Willy yang menentang pun tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kemauan Tania. Tania hanya pulang dan akan kembali untuk mengambil beberapa baju seragam dan kaos untuk Willy.

Hello my friends!

Back to my story. 😂 yeyyy! Jangan bosen untuk terus ikuti ceritaku ya.. Aku minta saran dari kalian dong.. Biar cerita aku lebih menarik dimata kalian.

Jangan lupa vote-nya ya
👇👇👇👇👇👇

See you next chapter. 😘😘

BULLSHIT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang