5...[Calvin Harris]

93 10 2
                                    

"Singkirkan benda menjijikkan ini!". Sudah berkali kali aku membujuk Harry agar mau di kompres keningnya tapi percuma. Dia memang batu. Batu yang bernyawa.

"Harry, kau ini mau sembuh atau tidak?". Sentakku sambil mengambil kain kompres yang tadi ia buang dan mencelupkan kembali ke baskom yang berisi air es.

"Pergi! Kau sudah mengganggu waktu istirahatku, dasar dokter cerewet.". Aku kembali menatapnya tajam. Dia pikir dia tidak cerewet? Lord, give me more patient.

"Baiklah, lebih baik kuberikan resep saja untukmu, dan perbanyaklah istirahat. Terapi pertamamu akan ditunda sampai kau sehat. Permisi.". Aku mengepak kembali peralatanku dan bangkit dari dudukku. Aku menuliskan resep untuknya dan meletakkannya di nakas samping ranjangnya.

Harry tidur menyamping dan membelakangiku seakan tidak peduli denganku.

¶¶¶

Saat ini aku sudah berada di hospital. Hari pertama bekerja dan pertama bertemu dengan rekan rekan dokterku. Mr. John telah memperkenalkanku di forum meeting tadi dan puji syukur mereka semua sangat ramah menyambutku. Kurasa aku akan betah bekerja disini.

Karena aku masih dokter baru, ruanganku terpisah dengan beberapa dokter yang senior disini, well itu bukan masalah, aku akan berusaha beradaptasi dengan mereka semua.

Kini aku sedang duduk diruanganku menunggu pasien pertamaku. Jam praktek ku baru saja dibuka beberapa menit yang lalu. Oh, aku sungguh tidak sabar.

Tiba tiba pintuku terketuk, apakah itu pasienku? Aku berdiri dari dudukku dan menyambutnya.

"Selamat siang ... Oh, dokter...?". Aku terkejut karena yang datang bukanlah pasien, tapi rekan dokterku.

"Calvin Harris.". Lanjutnya.

"Uh, ya, dr. Harris, silahkan masuk.". Aku mempersilahkannya duduk.

"Apa aku mengganggumu dr. Swift?". Tanyanya.

"Tentu tidak, bahkan belum ada pasien yang berkunjung.". Jawabku seadanya. Oh, aku sangat tidak pandai dalam menghidupkan suasana ku akui.

"Senang bisa bekerja denganmu dr. Swift. Kau sangat cantik, ehh maksudku, kau terlihat sangat, emm...berkompeten. Fresh graduate right?". Ujarnya yang membuatku tersipu malu. Sial, baru kali ini ada pria yang memujiku setelah lama aku berpisah dengan kekasihku. Oh lupakan.

"Thanks dr. Harris. Well, pidato penyambutanmu tadi sungguh memukau. Kau sangat hebat bisa mengemban tanggung jawab sebagai wakil CEO disini, di usia mu yang sepertinya masih muda hehe.".

"No, kau sangat berlebihan. Berapa usiamu dr. Swift?". Tanyanya.

"29.".

"Hey, well, aku tidak semuda yang kau kira dr. Swift. Aku 34.".

"Oh ya, dengan karirmu yang begitu cemerlang usiamu baru menginjak 34? That's cool dr. Harris.". Pujiku. Well, memang begitu kenyataannya. Usianya sudah cukup matang, apa dia sudah memiliki pasangan? Astaga, apa yang ku pikirkan.

"Jangan berlebihan dr. Swift. Aku percaya kau juga akan menjadi dokter yang hebat dr. Swift.".

"Thanks dr. Harris. Itupun jika kau bersedia membimbingku. Kau kan sudah senior dan berpengalaman disini hehe.". Gurauku.

"Dengan senang hati dr. Swift. Apa kau sibuk malam ini?". Aku menggeleng sebagai jawaban. "Maukah kau menemaniku untuk dinner?". Aku diam terpaku. dr. Harris mengajakku dinner? Apa aku tidak salah dengar?

"Eh?".

"Anggap saja ini salam perkenalan dariku sekaligus merayakan hari pertamamu di LOC. Bagaimana?". God, aku tidak sedang bermimpi kan? Siapa yang bisa menolak di ajak dinner oleh dokter setampan dia?

"Of course.". Jawabku mantap. Sepertinya aku akan sibuk memilih gaun untuk malam nanti. Aku tidak boleh terlihat memalukan didepannya.

Dan yang terpenting, aku harus berusaha menyembunyikan rona merah dipipiku ini setiap kali dr. Harris melontarkan kalimat manisnya. Astaga, mengapa aku jadi gugup.

¶¶¶

Aku tidak menyangka dr. Harris akan memperlakukanku dengan sangat ramah. Mungkin memang sepertinya dia melakukan itu pada semua orang, aku tidak boleh terlalu terbawa perasaan.

Saat ini kami tengah menunggu pesanan kami datang. Dr. Harris membawaku ke restoran mewah di London. Jujur aku gugup dan, astaga, dia terlihat tampan dengan setelan kemeja brown nya itu. Well, apapun yang ia kenakan akan selalu terlihat mampesona. Stop it Tay.

"Emm, dr. Swift. Bolehkah aku memanggilmu Taylor saja? Kurasa terlalu formal jika harus memanggilmu dr. Swift diluar hospital.". Aku yang awalnya hanya menunduk terpaksa mengadahkan kepala.

"Uh, ya, tentu dr. Harris.". Balasku.

"Kau sungguh tak adil Tay, masih saja memanggilku dr.". Keluhnya. Aku tergelak, sudah lama tak ada pria yang memanggilku dengan sebutan itu. Sial, mengapa aku harus mengingatnya disaat seperti ini. "Tay!". Panggilnya.

"Eh, ya, kenapa?". Tanyaku. Bodoh. Bisa bisanya mengacuhkan dr. Harris.

"Bisakah kau panggil aku Calvin saja ketika diluar hospital?". Aku mengangguk.

"Tentu Calvin.". Dia mengulurkan tangannya dan aku menyambutnya. "What's that mean?". Tanyaku.

"We're friend start from now?". Ujarnya.

"Hey, tentu. Hahaha.". Kami tertawa bersama sampai akhirnya hidangan pun tiba dan kami menyantapnya. Sesekali kami bergurau dan bercerita tentang diri kami satu sama lain. Ku akui Calvin cukup bisa mengimbangi diriku yang tidak begitu pandai menghidupkan suasana. He's curious.

Aku beruntung bisa mengenal Calvin. Di kota besar seperti London ini aku hanya sendiri, dan kurasa kami akan berteman baik nantinya. Semoga saja.

STYLE [HAYLOR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang