Haruskah aku kembali kesana? Tentu saja Tay. Semua hak mu sudah kau dapatkan bahkan lebih dari seharusnya. Dan sekarang saatnya menguji kemampuanmu. Kemampuan menghadapi pria temprament itu.Jadwal terapi Harry di majukan yang seharusnya besok jadi hari ini karena Harry besok ada agenda penting. Entahlah agenda apa yang dimaksud aku tidak peduli. Lagipula bisa menyelesaikan terapi dengannya saja aku sudah bersyukur.
Sampainya di rumah Harry aku langsung diantar ke kamarnya. Sepertinya aku sudah merasa terbiasa dan hafal dengan seluk beluk rumah ini meskipun mungkin hanya beberapa sudut karena luasnya yang tidak bisa ku hitung.
Pintu kamar Harry terbuka, tak seperti biasanya.
"Harry? Ini aku Taylor.". Panggilku masih diambang pintu.
"Taylor siapa? ". Jawabnya dengan nada dingin.
"Aku.". Aku menyembulkan kepalaku dan masuk kedalam. Kulihat dia langsung memalingkan wajahnya. Baiklah aku tak peduli. "Kau sudah siap?". Tanyaku seraya meletakkan tasku di nakas samping ranjangnya.
Aku mengambil sebuah alat perangsang syaraf yang bentuknya seperti tongkat kecil untuk mengetahui sejauh mana kaki Harry bisa meresponnya.
"Mau kau apakan kakiku? ". Tanyanya saat alatku hampir saja menyentuh kakinya.
"Hanya untuk mengetes sejauh mana respon saraf di kakimu.".
Dia terdiam dan kembali memalingkan wajahnya kesamping. Ku ketuk lutut nya dengan tiga kali ketukan namun dia tak merespon. Well, ini pertanda buruk. Tidak. Aku harus optimis dia pasti bisa sembuh.
"Bagaimana?". Tanyanya. Aku gelagapan sendiri bingung harus menjawab apa.
"Eh, emm ya, tidak begitu buruk.". Aku meletakkan kembali alatku kedalam tas. "Harry, bisakah kau menggeser tubuhmu kesamping atau ke belakang?". Tanyaku.
"Hem. ". Apa ku bilang. Dia tak sepenuhnya lemah.
"Kalau begitu cobalah untuk menggeser tubuhmu hingga di ujung ranjang yang sebelah sana. ".
"Beraninya kau memerintahku.". Balasnya sarkastik.
"Hey. Ini adalah bagian dari terapimu tuan.".Kenapa dia hanya diam. "Harry, ayolah.". Dia malah melipat tangannya. "Geser Harry geser astaga.". Aku mendorong bahunya agar mau bergerak.
"Apakah ini juga bagian dari terapiku?". Harry mencengkram pergelangan tanganku dan mengunci pergerakanku. Sial. Tidak. Don't look at me like that please.
"Ti...tidak. Maaf.". Aku menarik tanganku darinya dan menyelipkan tanganku di saku jas putihku. "Jadi, kenapa kau hanya diam tuan? Cepatlah bergeser.". Perintahku. Dia memutar bola matanya dan akhirnya bergeser.
Butuh waktu beberapa menit untuknya bisa sampai di ujung ranjang sana, tapi itu sudah cukup bagus karena ekspektasiku Harry justru akan menolak.
"P...puas kau? ". Ujarnya dengan terengah karena mungkin kelelahan.
"Cukup bagus. Sekarang kembalilah kemari.". Perintahku yang berada di ujung ranjang yang satunya.
"What the hell, kau ingin mengerjaiku huh?". Protesnya.
"Harry, ini bagian dari...".
"Terapiku. Oke. Fine! ". Selanya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Dia mendengus namun menurutinya.
"Come on Harry. Just a little bit closer! ". Teriakku menyemangati ketika ia sudah hampir dekat.
"Shut up Tay Tay.".
Deg.
Kenapa Harry memanggilku begitu? Aku terdiam selama beberapa detik dan mencoba kembali kedunia nyata. Mungkin itu hanya sekedar spontanitas Tay.
"Sudah. Aku lelah. Persetan dengan terapi bodoh ini.". Harry mengeluh ketika hampir sedikit lagi ia sampai di ujung. Salah sendiri punya bed yang sebesar ini.
Harry menyenderkan kepalanya dan mencoba mengatur napasnya.
"Astaga, ayolah tuan pemalas!". Aku menarik tangan Harry yang masih bisa kuraih.
"Eh eh apa apaan kamu. Lepas!". Berontaknya.
"Jangan manja Harry. Dikit lagi.". Aku masih kekeh untuk menarik tangannya. Entah mendapat keberanian darimana aku justru semakin kuat menariknya tapi tentu saja kekuatan Harry jauh lebih besar. Dengan sekali tarikan Harry yang berniat melepaskan tarikanku justru membawaku tertarik keatas kasur dan akhirnya.
Bugh.
"AAAA.....Harr..ry.". Aku terjatuh dan menimpa tubuh Harry.
Kini posisi kepalaku berada diatas pangkuan Harry dengan tangan kami yang masih bertautan. Untuk beberapa saat aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari manik hijaunya. He's handsome as hell.
Harry pun sama. Dia hanya diam dan tak berniat untuk bergerak sama sekali.
"Eemm... Aku...aku, maaf.". Aku bangun dan turun dari ranjang Harry. "Aku harus pergi. Maksudku, emmm... toilet. Ya, apa aku boleh pinjam toilet kamarmu? ". Tanyaku. Dia hanya memanggutkan kepala sebagai isyarat.
Aku pun berjalan masuk ke kamar mandinya dan menutup pintunya memastikan dia takkan bisa masuk. Astaga tentu saja dia takkan bisa masuk Tay, dia kan gak bisa berjalan.
Aku berdiri di depan cermin wastafel dan memegang dadaku yang sejak tadi terasa sesak. Aku menggelengkan kepalaku untuk menyadarkanku kembali kedunia nyata. Ya Tuhan ada apa denganku.
"Apa kau masih lama di dalam sana?". Teriakan Harry mengejutkanku.
Aku bergegas keluar dan mencoba menetralkan perasaanku. Jangan sampai Harry curiga dengan perubahan sikapku.
Hey. Tunggu. Harry sudah berada di tepi kasurnya?
"Apa terapiku sudah selesai?". Tanyanya. Aku mengangguk. "Kalau bagitu untuk apa kau masih ada disini?". Tidak bisakah dia bersikap tidak menjengkelkan sehari saja.
"Ya. Aku akan kembali ke hospital. Kita akan bertemu lagi minggu depan.". Aku mengemasi barangku dan berjalan keluar tanpa berniat mengucapkan salam perpisahan.
"Tunggu!". Harry memanggilku? Aku pun menoleh.
"Ya?".
"Berikan aku nomor ponselmu!". What? Apa aku tidak salah dengar?
KAMU SEDANG MEMBACA
STYLE [HAYLOR]
FanfictionNamaku Taylor Alison Swift, aku seorang dokter yang bermimpi menjadi seorang penyanyi, dan aku mencintai salah satu pasienku. Aku terlalu naif untuk mengakuinya sehingga aku hanya bisa memendamnya. Entah sampai kapan?