Senja mulai merayapi ufuk cakrawala, berpadu dengan terpaan angin yang seakan melantunkan melodi merdu. Aurora melangkahkan kakinya menyusuri trotoar dengan tergesa menuju sebuah halte yang berjarak sekitar dua ratus meter darinya. Ia harus segera sampai di rumah, sebab kegelapan akan segera menyelimuti langit dan ia tak boleh menyaksikannya.
Belum sampai ia melangkah terlalu jauh, sebuah taman yang sedang ia lewati menghentikan langkahnya. Ia merutuk dalam hati, selalu seperti ini. Sudah bertahun-tahun dirinya melewati tempat itu, setiap hari. Namun, perasaan itu selalu muncul. Perasaan aneh yang membuat kepalanya pening karena memikirkannya.
Masalahnya adalah, Aurora tidak tahu perasaan apa itu. Semacam kerinduan, namun ia juga tidak yakin. Taman itu rasanya familiar.
Ia benci perasaan ini, perasaan yang secara otomatis mengatur otaknya agar menghentikan langkah kakinya. Namun ia lebih benci saat menengadah. Rembulan tampak bertengger manis di atas sana.
Oh, sial.
Kakinya ingin melangkah, namun lagi-lagi perasaan itu menahannya. Perasaan itu seakan memaksanya untuk berbelok menuju taman sepi dan kosong itu.
Kedua kakinya gemetar. Bulir keringat mulai bercucuran melewati pelipisnya. Ia kembali mendongak hingga ia menyadari bahwa itu adalah hal terbodoh yang pernah ia lakukan. Lututnya lemas seketika hingga otot dan tulang kakinya tidak sanggup menyangga beban tubuhnya lagi.
Beberapa detik kemudian, tubuh mungilnya ambruk bersamaan dengan senja yang menghilang dilahap kegelapan dan suara bus yang lewat begitu saja.
Aurora Azariella, nama gadis yang berarti senja itu bernasib sama seperti senja itu sendiri, terpuruk dilibas kegelapan tanpa berani menentang kemunculan sang ratu malam.
YOU ARE READING
HIRAETH
Teen FictionAku rindu sebuah tempat. Seperti rumah, namun lebih indah. Tetapi aku ragu, apakah tempat itu nyata, atau hanya angan belaka.