The City of Emerald, Northern Italy, 1528.Gemerisik rerumputan kering yang terinjak oleh langkah-langkah panjang memenuhi jalan setapak itu. Angin musim gugur yang berembus membuat laki-laki berpakaian tebal itu kian mengeratkan mantelnya seraya memeluk tubuhnya sendiri. Ia nampak tergesa hingga hampir menabrak seekor rubah yang melintas di hadapannya.
"Argh!" gerutu lelaki itu sambil terloncat kaget. Si rubah yang sepertinya juga terkejut pun lari terbirit-birit menghindar.
Tiba-tiba, sebuah rengekan bayi terdengar. Lelaki itu berdecak kesal. Bayi dalam dekapannya itu pasti terkejut karena insiden tadi.
Ia terus mempercepat langkah menyusuri jalan setapak itu, masih diiringi suara tangis si bayi. Beruntung suasana hutan kala itu sepi.
Akhirnya, ia sampai di sebuah kastil tua yang sudah bertahun-tahun tak ia kunjungi. Sebuah perasaan hangat mengalir dalam dadanya, perasaan rindu. Kini ia senang bisa kembali ke tempat yang penuh kenangan itu.
Kemudian ia masuk. Kondisi kastil itu masih sama. Dinding lebar berwarna cokelat berdiri kokoh dengan atap tinggi yang berpusat pada sebuah lampu hias indah. Beberapa perabotan antik masih terpajang apik di sudut-sudut ruangan.
"Tempat ini akan menjadi rumah kita berdua, Nak." ia menatap buah hati yang ada dalam dekapannya itu dengan lembut. Bayi itu berhenti menangis dan menatap sang Ayah.
Sang Ayah tersenyum hangat. Beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah menjadi sedikit memilukan.
"Kau tidak buruk, Nak. Percayalah." tangannya meraih sebuah topeng yang menutupi wajah buah hati kecilnya. Ia menghela napas panjang, membiarkan segala kekhawatirannya sirna bersama embusan karbon dioksida dari sistem respirasinya.
Ia lalu menuju sebuah bilik untuk menidurkan buah hatinya. Kemudian, langkah kakinya membawanya menuju sebuah taman di belakang kastil. Lagi-lagi, kebahagiaan membanjiri relung hatinya. Bunga-bunga yang ia rawat sejak remaja tumbuh dengan baik nan indah. Seketika, bayangan tentang kerumitan suasana kerajaan yang sedari tadi menari-nari di pikirannya sirna.
Akan lebih baik jika ia menghabiskan seluruh hidupnya di kastil ini bersama sang buah hati, daripada harus menyaksikan atau bahkan terlibat dalam pertumpahan darah yang sepertinya akan segera terjadi di singgasana yang beberapa jam lalu ia tinggalkan.
Suara derap sepatu terdengar jelas di telinga lelaki itu. Ia tetap tenang karena mengetahui siapa yang datang.
"Lapor, Raja! Akses menuju kastil ini sudah hamba tutup. Sekarang, Raja bisa beristirahat di sini dengan tenang bersama Putra Mahkota." seseorang yang ternyata adalah panglima kepercayaan sang Raja melapor.
Sang Raja yang masih berusia dua puluh lima itu mengangguk. "Beritakan kepada seluruh penghuni istana dan masyarakat bahwa Raja dan Putra Mahkota telah terbunuh oleh sekawanan singa saat perjalanan pulang dari tempat bersuci Putra Mahkota."
Sang Panglima menelan ludah sejenak. "Baik. Lantas, siapa yang akan menggantikan posisi Raja selain Putra Mahkota?"
"Otomatis posisiku akan digantikan oleh adikku. Aku tahu dia orang yang lebih pantas mengisi singgasana itu, jika saja dia adalah anak sulung."
"Baik, Raja Jevan. Perintah akan segera dilaksanakan."
"Aku harap aku tidak salah telah mengandalkanmu, Panglima Theodore." Raja Jevan menepuk bahu Panglima Theodore.
"Anda tidak akan pernah salah, Raja Jevan. Hamba bersumpah setia kepada Anda dan seluruh kubu Anda." Panglima Theodore menunduk hormat.
Raja Jevan mengangguk takzim. "Setelah ini, mengabdilah kepada adikku dan seluruh rakyat. Jangan kunjungi tempat ini lagi. Biarlah aku sendiri yang menebus kesalahanku di sini."
"Baik, Raja Jevan. Hamba undur diri sekarang. Hamba harap pengangkatan Pangeran Gabriel sebagai raja akan meredamkan konflik di wilayah kerajaan."
Raja Jevan mengangguk, diikuti dengan kepergian Panglima Theodore dari hadapannya.
Ia berharap berpura-pura mati adalah keputusan terbaik. Ia bukan lari dari tanggung jawab, melainkan ia merasa sudah berada pada jalan yang tepat. Ia merasa telah mendapat anugerah yang begitu besar, meskipun ujian datang bertubi-tubi setelah anugerah tersebut membanjirinya.
Salah satu anugerah itu kini bersamanya, sedang tertidur pulas di sebuah bilik yang berjarak beberapa meter dari tempatnya berdiri.
Seorang Asher Orion Muhammad.
YOU ARE READING
HIRAETH
Teen FictionAku rindu sebuah tempat. Seperti rumah, namun lebih indah. Tetapi aku ragu, apakah tempat itu nyata, atau hanya angan belaka.