3. Serenity

21 3 0
                                    


Serenity : (n) peaceful, clear.

The City of Emerald, Northern Italy, 1546.

Sebelumnya, Asher tidak pernah tahu jika merawat bunga bisa semenyenangkan ini. Sebagai seorang laki-laki, ia selalu menganggap bahwa kegiatan itu sangatlah merepotkan dan melelahkan. Selama ini, dirinya terlalu sibuk dengan aktivitas berburunya serta bertualang menyusuri hutan.

Jadi, mari kita merunut asal-usul kecintaan Asger terhadap taman.

Asher sangat menyukai hutan di sekitar kastil tempat tinggalnya. Suara kicau burung yang saling bersahutan, gemerisik dedaunan yang diterpa angin, gemericik air sungai, serta aroma khas buah-buahan ataupun bunga yang tumbuh. Ia sering berlarian bersama kera, asyik mengejar ayam hutan, sampai berburu rusa untuk dipanggang. Ia bahkan sering membayangkan sedang bercengkrama dengan para elf-peri hutan- yang cantik jelita. Semua itu menyenangkan.

Aktivitas itulah yang membuat taman di belakang kastilnya terbengkalai. Asher bahkan jarang mengunjungi taman itu. Hingga pada suatu hari, saat ia sedang berjalan melewati sebuah pemukiman dekat hutan untuk membeli beberapa bahan makanan, ia berpapasan dengan seorang anak kecil yang sedang mengulum permen.

"Ibuuuu!" Anak kecil itu menangis begitu bertatapan dengan Asher. Permen di tangannya terjatuh seiring dengan tangisannya.

Seorang wanita paruh baya berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. "Ada apa, Nak?"

"Ada monster, Bu!" Anak kecil itu menunjuk wajah Asher.

Asher sontak memegang wajahnya. Astaga, ia lupa menutupi wajahnya.

"Aduh, Anak Muda. Maafkan anak saya. Wajah Anda menakutinya. Maaf, ya." ujar Ibu itu sambil menepuk-nepuk bahu anaknya dan berkata jika Asher bukanlah monster.

"Ah, baiklah, Bu. Lebih baik saya menyingkir saja. Permisi." Asher membungkuk sedikit lalu pergi dari hadapan kedua orang itu. Beberapa orang memandangnya heran sekaligus takut.

Asher pulang dengan tangan kosong, belum sempat sampai di tempat tujuannya. Selama di perjalanan, dadanya bergemuruh. Ia merasa marah, namun ia tidak bisa menyalahkan orang lain. Ia benci dirinya sendiri.

Mengapa aku harus hidup seperti ini?

Selama delapan belas tahun hidupnya, ia tidak pernah merasa sebenci ini. Ia memang tidak pernah memperlihatkan wajahnya di hadapan orang-orang sehingga saat anak itu menyebutnya monster, ia berpikir jika dirinya memang seburuk itu.

Kejadian tadi murni kesalahannya. Biasanya, ia memasang topeng yang menurutnya sangat pengap di wajahnya jika akan bertemu dengan orang-orang. Kali ini ia lupa, jadi wajar saja jika anak itu menyebutnya monster.

Sesampainya di kastil, masih dengan amarah yang bergemuruh, ia meraih topeng yang tergantung di dinding kamarnya. Amarah hampir mengendalikan tangannnya untuk membanting topeng itu hingga ia teringat sesuatu.

 Amarah hampir mengendalikan tangannnya untuk membanting topeng itu hingga ia teringat sesuatu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Jangan lampiaskan amarahmu pada apapun, Asher. Jika amarah menguasaimu, pergilah ke taman belakang rumah. Maka kamu akan menemukan penawar amarahmu di sana."

Pesan Sang Ayah terngiang di benaknya. Ia meletakkan topeng itu lalu berjalan menuju taman belakang rumah.

 Ia meletakkan topeng itu lalu berjalan menuju taman belakang rumah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hal pertama yang ia rasakan adalah aroma taman itu.

Harum, pikirnya.

Aroma berbagai bunga sedikit demi sedikit melegakan perasaannya. Kemudian, pandangannya menerawang ke seluruh penjuru taman. Kondisinya memang tidak seindah saat ayahnya masih ada, namun juga tidak begitu terbengkalai. Padahal, seingatnya ia tidak pernah mengurus tempat itu selama setahun ini.

Kakinya bergerak menyusuri hamparan bunga yang bermacam-macam jenisnya. Perpaduan antara warna-warna bunga yang indah, harum yang memenuhi rongga hidung, dan semilir angin yang menerpa wajahnya mampu meredamkan amarahnya dalam sekejap. Ayahnya benar, taman ini memiliki resep ajaib untuk mengobati amarah.

Sejak saat itu, Asher belajar merawat bunga dengan baik. Selepas salat Subuh, kegiatan pertama yang ia lakukan adalah menyiram bunga dan membersihkan taman. Sejak saat itu pula, ia merasakan gejolak baru di dalam hatinya.

Gejolak kenyamanan dan ketenangan.

Taman itu selalu berhasil menghibur Asher saat ia mulai teringat mengenai kehidupannya yang menyedihkan.

Setidaknya aku mempunyai kalian.

Asher menghibur diri, meskipun pernyataan itu juga sedikit menyakitkan baginya. Orang lain pasti tidak akan pernah menyangka jika taman bunga yang sangat indah itu justru dirawat oleh seseorang yang begitu buruk.

"Hai, Rose! Kau tampak cantik dan segar hari ini. Jika kau dijual oleh para florist, pasti kau menjadi salah satu bunga yang sangat berharga." ujarnya sambil menyirami sekelompok bunga mawar merah.

Tiba-tiba, sebuah pemikiran terlintas di benaknya. Ia bisa menghasilkan uang dari berjualan bunga.

Ide yang sangat cerdas, Asher! Ia memuji diri sendiri. Dengan semangat membara, ia berlari masuk ke kastil dan mengambil sebuah keranjang bunga. Kemudian, dengan nalurinya, ia memilah bunga-bunga yang sekiranya sudah siap untuk dipetik. Tidak terasa, keranjangnya telah terisi penuh. Ia segera memakai pakaian yang lebih baik dan bersiap untuk pergi.

"Ah, topeng." Asher berbalik menuju kamarnya dan mengambil perisai andalannya, topeng. Beberapa detik ia mematut diri di depan cermin, berhadapam dengan wajahnya sendiri.

"Semangat, Asher! Kau pasti bisa!"

Ia tersenyum kecut.

HIRAETHWhere stories live. Discover now