5. Tacenda

30 3 0
                                    


Tacenda : (n.) things better left unsaid; matters to be passed over in silence.

The City of Emerald, Northern Italy, 1546.

Srak srak.

Luna terperanjat. Ia segera menunduk sejajar dengan tinggi tanaman di hadapannya. Hampir saja dahinya terantuk duri batang mawar jika sepersekian detik lalu ia tidak menghindar.

Duh, gawat.

Jantungnya berdegup kencang. Ia memejamkan mata, membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi jika ia sampai tertangkap basah.

"Satu, dua, tiga..."

Gadis itu mendengar suara berat yang sepertinya tengah menghitung jumlah bunga yang dipetik.

Sejak kapan taman ini dikunjungi orang selain dirinya?

Seingatnya, selama beberapa tahun, taman itu selalu kosong. Luna bisa dengan bebas bermain dan merawat bunga-bunga yang tumbuh dengan indah.

Siapa orang itu? Apakah dia pemilik taman ini? Penghuni kastil besar itu?

Tapi sejak ia berkunjung ke taman ini, ia tidak pernah melihat seseorang yang berkeliaran di sekitar sini. Ia kira tempat megah dan kuno ini kosong.

Dengan jantung yang masih berdegup kencang, Luna mengintip apa yang tengah dilakukan pemilik suara berat itu dari balik dedaunan.

Luna menelan ludah.

Ia tidak ingin terperanjat lagi, namun tubuhnya refleks melakukannya. Bukan karena pemilik suara berat itu memergokinya, namun karena Luna terkejut dengan apa yang ia lihat.

Luna menahan diri untuk tidak berteriak.

Ada apa dengan wajahnya?

Ia tidak ketakutan, hanya sebatas terkejut. Hanya saja, sebuah pertanyaan besar langsung terngiang di benaknya : Siapa yang tega melakukan itu pada wajahnya?

Ia langsung termenung, memikirkan hidupnya yang selama ini ia kira paling memprihatinkan. Hidup sebatang kara, terjerat kemiskinan, dan ketertutupannya dari masyarakat sehingga ia dikucilkan.

Bahkan ada kalanya ia berpikir ingin mati saja.

Setelah melihat pemilik suara berat itu, perlahan-lahan pintu hatinya mulai terketuk. Laki-laki itu pasti lebih menderita darinya. Entah apa yang telah terjadi padanya hingga memunculkan bekas mengerikan pada wajah itu. Bekas lukanya pasti membuat kehidupan laki-laki itu tidak mudah.

Luna mengintip lagi, ingin melihat wajah itu dengan lebih jelas. Bekas luka itu cukup tebal, mungkin setebal tangkai bunga mawar di hadapannya. Warnanya merah kecokelatan, membentuk sebuah garis miring. Ujung garisnya berada di dahi bagian tengah, melintas di antara mata kanan dengan hidung, dan berakhir di pipi kanan laki-laki itu.

Bekas sabetan pedang.

Ia yakin luka itu adalah bekas sabetan pedang. Pasti cukup dalam karena masih berbekas hingga seperti itu. Tiba-tiba tubuhnya terasa ngilu membayangkan kemungkinan yang terjadi pada laki-laki itu di masa lalunya.

Otaknya penuh dengan segala kemungkinan mengenai pria itu hingga ia tidak sadar bahwa pria itu kini tengah berjalan ke arah persembunyiannya.

Srak, srak.

Entah sudah berapa kali ia terperanjat, ia sudah pasrah. Ia memejamkan mata, berharap ada keajaiban dan tiba-tiba tubuhnya menghilang dari tempat itu.

Ia merasa ada embusan angin yang menyapa tengkuknya.

"Aduh, keranjangku sudah penuh. Bunga sebanyak ini sudah cukup."

Luna mendengar suara langkah kaki menjauhinya. Ia menghembuskan napas lega, seakan-akan ia baru selamat dari ancaman kematian.

Tubuh mungilnya mengendap-endap keluar dari taman itu. Karena kejadian tak terduga itu, hari ini keranjangnya kosong. Ia hanya bisa pasrah dan bertahan hidup dengan uang sisa berjualan bunga kemarin.

***

"Ini bunganya, Bu Rosalee. Dijamin masih segar." Asher menyerahkan satu keranjang penuh bunga hasil petikannya kepada wanita cantik paruh baya itu.

"Oke, bunganya cantik seperti biasanya. Tampaknya taman milikmu tumbuh dengan sangat baik." puji Bu Rosalee sembari menghitung beberapa lembar uang.

"Ngomong-ngomong, apakah kau berpapasan dengan Luna di jalan?" wanita itu menyerahkan uang kepada Asher sambil bertanya.

Asher mengernyit, merasa familiar dengan nama itu.

"Luna?"

"Iya, Luna Arabella. Gadis yang biasanya juga mengantarkan bunga. Biasanya ia sudah ke sini satu jam yang lalu, namun hari ini belum datang juga."

Luna Arabella? Ah, gadis maccheroni itu!

"Tunggu, Luna juga menjual bunganya ke Ibu?" tanya Asher penasaran.

"Tentu saja! Bunga-bunganya sangat cantik dan segar. Dia adalah anak yang sangat rajin. Aku tidak tahu dari mana ia mendapatkan bunga-bunga itu." Bu Rosalee bercerita sembari membersihkan kaca tokonya.

"Tapi, bunga yang kalian berdua jual mayoritas jenisnya sama, lho." lanjutnya.

"Oh ya? Wah, berarti aku punya saingan dong, Bu. Kemarin lusa aku tidak sengaja menabraknya dan menjatuhkan bunganya."

"Oh, jadi itu ulahmu?! Pantas saja kemarin Luna terlihat murung saat menjual bunga, katanya gaji hari kemarin harus raib gara-gara seorang cowok bertopeng menyebalkan sekaligus mengerikan. Hahaha."

Mendengar itu, Asher merasa ada sesuatu yang mengusik dadanya. Ia sudah terbiasa mendegar kata-kata 'mengerikan' dari semua orang mengenai topengnya, namun entah mengapa kali ini rasanya lain.

Gadis itu juga berpikir kalau aku mengerikan, ya?

Ia tersenyum kecut.

"Ya sudah kalau begitu. Terima kasih, Bu Rosalee. Senang bertransaksi dengan Anda. Sampai jumpa besok!"

"Iya, Nak Asher. Jangan bosan-bosan datang, ya!"

Begitu Asher keluar dari toko, pikirannya penuh oleh gadis itu. Ia baru bertemu Luna sekali, namun entah mengapa gadis itu begitu membekas dalan pikirannya.

Cara Luna memperlakukannya saat makan maccheroni bersama sama sekali berbeda dengan semua orang yang pertama kali mengenalnya.

Seakan gadis itu tidak terusik dengan kehadiran topeng terkutuknya itu. Saat itu, Asher berpikir bahwa Luna benar-benar orang yang berbeda.

Namun, perkataan Bu Rosalee mengenai Luna yang juga berpikir bahwa dirinya 'mengerikan' telah meruntuhkan seluruh ekspektasinya.

Entah mengapa, hatinya sakit. Ia merasa seperti telah dikhianati oleh seseorang yang pertama kali ia percayai selain Ayahnya.

Dan beberapa detik kemudian, ia tersadar.

Bahwa dirinya memang semengerikan itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 20, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HIRAETHWhere stories live. Discover now