Rome, Italy, 2018.Aurora tidak mengerti mengapa orang-orang selalu menungkapkan keindahan malam dengan perandaian bulan, rembulan, ratu malam, ataupun sejenisnya. Menurutnya, bulan tidak seindah itu, bahkan tidak ada unsur indahnya sama sekali.
Pemikiran itulah yang pertama kali muncul di benak gadis berusia delapan belas itu setelah siuman dari pingsannya. Ia bangkit dari tidurnya, kepalanya pening. Namun setidaknya ia beruntung karena seorang sopir taksi langganannya menemukan tubuhnya yang tergeletak di trotoar dan mengantarkannya menuju apartemen dengan selamat.
Malam ini adalah malam pergantian dari musim gugur ke musim dingin. Itu artinya, malam ini berkali-kali lipat lebih dingin dibanding malam-malam lalu. Hawa yang menusuk tulang membuat gadis itu segera berjalan menuju dapur untuk membuat latte panas.
Beberapa detik kemudian, ia teringat sesuatu.
"Astaghfirullah, aku lupa menutup tirainya!" pekiknya panik. Ia buru-buru berlari menuju jendela besar yang menyuguhkan pemandangan Roma di malam hari. Apartemen Aurora terletak di lantai delapan sehingga pemandangan kota terlihat sangat jelas dari jendela apartemennya.
Dengan mata tertutup, ia segera menggeser tirai besar bermotif bunga yang bahkan tidak ia ketahui namanya. Motif bunga bermahkota lima itu berwarna biru langit, begitu indah dan cocok dengan dinding apartemen Aurora yang berwarna biru tua. Ia sudah mencari-cari jenis bunga itu di seluruh penjuru Roma, namun tidak ada satu pun toko bunga yang menjualnya. Jangankan menjualnya, para florist bahkan tidak pernah mengenal bunga itu dan menganggap bahwa Aurora yang menciptakan motif itu sendiri.
Bagi sebagian besar orang, melihat pemandangan Roma di malam hari dari sebuah jendela besar apartemen yang terletak di lantai delapan mungkin adalah suatu anugerah. Menyaksikan gedung-gedung pencakar langit yang bercahaya, jalan-jalan yang ramai dengan gemerlap lampu kendaraan, dan langit malam yang dipenuhi bintang dan bulan bisa menjadi salah satu sarana penghilang stress.
Namun, semua itu tidak berlaku bagi Aurora, sama sekali tidak. Dirinya memang menyukai pemandangan malam Roma yang romantis itu, kecuali salah satu komponen di dalamnya.
Bulan.
Bahkan memikirkan namanya saja ia sudah muak. Meskipun ia paham betul mengenai penciptaan bulan, namun ia tidak habis pikir mengapa benda itu bisa membuatnya begitu ketakutan. Padahal, bulan itu hanya bertengger manis di langit gelap dan berjarak sekian juta meter darinya, namun dalam pandangannya, bulan itu tampak selalu ingin menerkamnya.
Aurora juga tidak tahu sejak kapan benda bercahaya itu menghantui hidupnya. Seingatnya, ia sering memandangi benda itu dengan takjub di balkon kamarnya semasa kecil, bahkan berbicara sendiri seolah-olah ia sedang bercengkrama dengan bulan mengenai teman-temannya yang selalu menjauhinya.
Lunaphobia. Ketakutan yang berlebihan terhadap bulan. Aurora sudah mencari banyak referensi mengenai kelainan langka itu, bahkan sampai berkonsultasi dengan psikolog. Lunaphobia seringkali dikaitkan pada sesuatu hal yang irasional yang dapat terjadi akibat pengalaman traumatis, begitu informasi yang ia dapat. Namun, pertanyaan yang selama ini terngiang di benaknya selalu sama : Pengalaman traumatis apa yang pernah ia alami?
Selama delapan belas tahun kehidupannya, ia tidak pernah mengalami kejadian yang membuatnya trauma hingga berdampak seperti saat ini.
Tidak terasa, ia telah menghabiskan secangkir latte panasnya. Daripada pening memikirkan phobianya yang tidak masuk akal itu, lebih baik ia segera tidur dan bermimpi indah.
Namun siapa sangka, mimpinya malam itu adalah kunci dari seluruh keanehannya selama ini.
YOU ARE READING
HIRAETH
Teen FictionAku rindu sebuah tempat. Seperti rumah, namun lebih indah. Tetapi aku ragu, apakah tempat itu nyata, atau hanya angan belaka.