1. Tentang Narsih

8.4K 232 8
                                    

Hai Readers, apa kabar?
Udah lama banget cerita ini aku anggurin 😁 sorry ya.

Oya, rencana cerita ini mau aku lanjut. Dimulai dari bab 1 yang sudah aku rombak abis.

Bab selanjutnya menyusul. Doakan nulisnya istiqomah ya. 🙏

Nama aslinya Sunarsih. Namun, orang lebih mengenalnya dengan sebutan Narsih.

Menurut cerita nenek sewaktu aku masih kecil, Narsih kerap muncul setelah bertahun-tahun menghilang. Ia berwujud perempuan berdaster putih kumal selutut, banyak noda bekas tanah merah dan darah yang mengering di beberapa bagian. Wajahnya putih pucat. Dari tubuhnya menguarkan aroma tak sedap, seperti bau anyir darah busuk.

Dengan langkahnya yang agak diseret, Narsih berkeliling ke seluruh penjuru desa. Konon, ia sedang mencari orang-orang yang sudah membuatnya sakit hati semasa hidup. Mengucilkan, membully bahkan menghinanya habis-habisan.

Ada juga yang mengatakan bahwa Narsih akan menuntut balas pada orang-orang yang telah memperkosa dan membunuhnya secara keji.

Beberapa orang sempat menemukannya duduk di ayunan yang terbuat dari bekas roda motor yang digantung dengan seutas tali tambang besar di dahan pohon waru.

Menurut mereka, kemunculannya ditandai dengan sebuah tembang mirip lagu nina bobo, hanya saja liriknya diubah menjadi "nananana ...." Suaranya sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Menyayat hati.

Aku sendiri belum banyak tahu jati diri Narsih yang sebenarnya, selain sebatas nama lengkap dan beberapa cerita menyedihkan tentang kisah hidupnya.

Kabarnya, kelahiran Narsih sangat tak diharapkan. Orang kampung menyebutnya kebobolan. Entahlah, padahal kedua orang tuanya baru beberapa bulan menikah. Bukannya bahagia akan kehadiran buah cinta, mereka malah menganggap kehadirannya terlalu cepat.

Mereka masih ingin menikmati kemesraan berdua, tanpa direpotkan dengan adanya bayi. Berulang kali sang ibu mencoba menggugurkan kandungannya, tapi selalu gagal.
Hingga mereka menyerah dan membiarkan Narsih lahir.

Belum genap sebulan pasca Narsih dilahirkan, kedua orang tuanya menitipkannya pada sang nenek, yaitu ibu dari pihak ayahnya. Kemudian keduanya pergi le kota dan berjanji akan selalu mengirim uang untuk biaya hidup anaknya. Ternyata, janji itu hanya isapan jempol belaka. Nyatanya, jangankan uang untuk biaya hidup, kabar dari mereka pun tak pernah lagi terdengar.

Narsih yang terlahir cacat, sebelah kakinya tidak tumbuh secara normal, dibesarkan dengan ala kadarnya. Sesekali sang nenek menyusukan cucunya pada kambing milik tetangganya karena keterbatasan biaya. Hingga besar, Narsih kerap diolok-olok teman sebayanya, disebut anak embek.

Saat usianya beranjak remaja, sang nenek meninggal dunia. Hidup Narsih semakin tak tentu arah. Hingga suatu hari Narsih dikabarkan hilang. Menurut berita yang tersiar, Narsih pergi ke kota untuk mencari kedua orang tuanya. Ada juga yang berspekulasi bahwa Narsih dibawa kabur kawanan anak muda brandal yang memperkosanya secara bergilir, lalu membunuhnya dengan sadis.

Dulu, ketika nenek masih hidup, saat aku dan adik tidak mau tidur padahal malam sudah larut, nenek selalu menakut-nakuti kami dengan berkata, "Cepat tidur, kalau tidak tidur nanti Narsih datang."

Kalimat itu sangat ampuh mengundang kantuk seketika. Aku semakin mengeratkan pelukan ke dada Ayah. Sedangkan adikku, ke pelukan Ibu.

Tidak hanya kami, ternyata beberapa teman sebaya di kampung kala itu juga sama.

Dalam bayanganku waktu itu, Narsih adalah sosok seperti wewe gombel yang suka menculik anak-anak dengan cara dimasukkan dalam payudaranya yang besar menggantung hingga nyaris menyentuh tanah. Wajahnya sangat menakutkan. Dia bisa berubah wujud menjadi bentuk sesuai yang dia kehendaki.

***

Aku kuliah di FISIP sebuah universitas negeri di Lampung, mengambil jurusan Sosiologi.

Sebagai bentuk pengabdian pada masyarakat, kelompok kami akan mengadakan KKN di desa terpencil. Tepatnya di tanah kelahiranku, sebelum pindah dan menetap di kota ini.

Selain terpencil, aku sengaja memilih Lembur Hideung karena pemandangan alamnya yang sangat indah. Letaknya di kaki gunung Pesawaran.

Usai berkumpul dengan kelompok dan pembimbing KKN yang rencana akan diberangkatkan besok, kami bergegas pulang untuk mempersiapkan amunisi yang akan dibawa besok.

"Vin, jangan lupa gitar dibawa," suara Kenzo mengingatkanku, sesaat setelah aku menstarter kendaraanku.

"Siap!" jawabku sembari mengacungkan jempol ke arah Kenzo.

Awalnya, aku tidak menyangka jika ketiga kawanku; Kenzo, Raka, dan Nayara, bersedia ikut serta melakukan tugas KKN di daerah yang kuusulkan ke pihak kampus beberapa waktu lalu.

"Bolehlah, gua ikut." Kenzo orang pertama yang merespons positif usulku.

Maklumlah, sejak kecil hidupnya selalu berada di tengah hiruk pikuk kehidupan kota. Nyaris tak pernah merasakan aroma surga yang tersembunyi di balik pepohonan menjulang di seluruh penjuru desa. Tentu, kali ini adalah kesempatan emas baginya.

Disusul Raka, satu-satunya cowok metro seksual di kelas kami, yang  semula terlihat ragu-ragu. Tapi karena gengsi dengan ucapan Kenzo yang terus memanas-manasinya, akhirnya ia terpaksa ikut.

"Lembur Hideung? Kedengerannya serem, ya?" Raka terlihat keberatan dengan tempat yang akan digunakan untuk KKN

"Kenapa? Lo takut?" ejek Kenzo yang selalu tak pernah terlihat akur dengan Raka. "Buang aja tuh burung, cemen bener."

Kenzo melirik ke arahku, bola matanya memutar seperti memberi isyarat. 

Kubalas dengan senyum tipis dan kami serempak mengalihkan pandangan ke wajah Raka.

Lalu ....

"Iya, iya. Gua ikut," ujar pria pecinta kebersihan itu.

"Nah, gitu doong! Itu baru kawan."
Kenzo terlihat paling bersemangat.

"Gua, boleh ikut?"

Suara lembut dan menentramkan hati terdengar dari seseorang yang sepertinya menyimak pembicaraan kami beberapa waktu lalu. Seketika, ketiga pasang mata di hadapannya menoleh.

"Nayara?" kata kami serempak.

Gadis itu tersenyum ramah pada kami, membuat jakun Kenzo tampak bergerak naik.

"Boleh?" ulang Nayara.

"Em, bo... boleh dong," timpal Kenzo agak terbata.

"Naya serius mau ikut kita?" tanyaku agak tak yakin.

Bagaimana bisa percaya, cewek yang selalu menjadi bahan perbincangan para cowok di kampus itu tak disangka mengantarkan diri ingin ikut bersama grup kami. Hem, hanya orang bodoh yang menolaknya.

"Kenapa mau ikut kita, Naya? Kamu enggak takut?" tanya Raka, polos.

Kenzo tiba-tiba menyikut perut Raka sampai cowok yang memasang wajah polos itu meringis kesakitan.

Gadis itu tersenyum lagi, kali ini lesung pipitnya terlihat jelas. Membuat wajahnya semakin terlihat manis.

"Pertama, gua enggak kebagian kelompok. Kedua, gua suka desa yang masih alami. Kalo enggak salah, nama kampung yang tadi disebut, udik banget kan?"

Kenzo dan Raka tertawa lepas, ujung mata mereka melirik ke arahku. Sial, mereka mengejekku. Mentang-mentang itu desa kelahiranku.

"Ya, desa sih. Tapi enggak pake udik banget, juga kali."

Aku membela diri. Meski sudah lama keluargaku boyongan pindah ke kota, tapi tak rela rasanya melihat orang menjelekkan tempat kelahiranku.

"Ya, udah. Fiks, ya. Gua catet nama-nama kita, buat diserahin ke pembimbing."

Kami mengakhiri pertemuan hari itu.

"Oke, sampai ketemu besok ya," ujar Kenzo terlihat makin semangat.

***

N A R S I HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang