5. Hilangnya Raka

3.4K 151 17
                                    

"Tolooong!"

Lengking suara itu seketika hilang bersamaan dengan lenyapnya tubuh Raka yang terbawa pusaran air.

Kami bertiga tak sempat menolong karena kejadian itu begitu cepat dan tiba-tiba.

Wajah kami masih diliputi aura kecemasan. Tak menyangka hal itu bisa terjadi.

"Hei! Ngapain kalian di situ?"

Tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari kejauhan. Sontak kami menoleh, bersamaan.

Laki-laki paruh baya itu mendekat ke arah kami.

"Tolong teman kami, Pak. Dia tenggelam di sana," hiba Nayara dengan wajah memelas sambil menunjuk tempat di mana Raka hilang.

Laki-laki paruh baya itu tertegun sesaat, kemudian menyuruh kami cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Meski ragu, karena kami masih berharap tubuh Raka kembali muncul ke permukaan air lalu kami bergegas menolongnya.

"Tempat ini bahaya buat kalian, sekarang mari ikut saya," ajak lelaki itu.

Kami pun mengekor di belakang lelaki yang berjalan agak terburu-buru di hadapan kami. Hingga sampai di sebuah rumah berdinding papan yang terlihat sudah lusuh, termakan usia.

Lelaki itu, Pak Harun namanya, mempersilakan kami masuk ke rumah itu.

"Sebenarnya sudah dari tadi saya ingin menjemput kalian. Hanya saja, ada sedikit problem. Makanya saya telat. Ternyata apa yang saya khawatirkan akhirnya terjadi juga."

Tatapan kami seketika nanar ke wajah Pak Harun.

"Ada apa dengan sungai itu, Pak?" tanyaku dengan dahi berkerut.

Pak Harun berdehem sebentar, lalu berucap, "sungai itu sudah beberapa kali memakan korban. Untuk itu, warga di sini tidak ada lagi yang berani memanfaatkan sungai itu. Bahkan untuk sekadar mencuci muka sekalipun."

Kami khusyuk mendengar cerita lelaki berambut plontos yang diselingi uban.

"Apa teman kalian buang hajat di sungai tadi?"

"Benar sekali, Pak. Sejak di mobil tadi dia memang mengeluh kebelet pipis. Padahal kami sudah menyarankan untuk minta berhenti sebentar dan buang hajat di pinggir jalan sepi. Tapi Raka enggak mau," ujar Kenzo.

Mereka tahu, Raka memang tidak mungkin mau jika harus berkemih di sembarang tempat seperti para lelaki kebanyakan. Dia berbeda, mungkin satu dari seratus persen orang sepertinya.

Dan saat menemukan sungai yang besar juga bersih, Raka merasa itulah tempat yang pas.

Pak Harun manggut-manggut.

"Apakah ada kemungkinan teman kami bisa ditemukan, Pak?" tanya Nayara cemas.

"Saya tidak tahu. Kalau yang sudah-sudah, ada yang ditemukan mayatnya ada juga yang sama sekali tidak diketemukan. Tapi kita doakan saja semoga teman kalian bisa selamat."

Obrolan kami pun terpaksa harus berhenti karena waktu sudah semakin gelap. Pak Harun mempersilakan kami untuk beristirahat.

"Neng Naya tidur di kamar itu ya. Terus yang cowok, biar tidur di kamar depan. O iya, kalo kalian lapar, di dalam tudung saji ada nasi dan tempe goreng. Maaf, seadanya saja ya," ujar Pak Harun menyembunyikan wajah yang tersipu.

"Baik, terimakasih Pak. Oh iya, Bapak sendiri nanti tidur di mana?" tanyaku, merasa tak enak karena di rumah sederhana itu hanya ada dua kamar.

"Ah, gampang kalo saya. Di belakang kan ada amben, nanti saya bisa tidur di sana."

***

Rasa letih setelah melakukan perjalanan panjang membuat kami seketika tertidur pulas. Bahkan kejadian yang menimpa Raka, sejenak bisa kami lupakan.

Dalam tidur aku bermimpi melihat Raka melambai-lambaikan tangan di permukaan air. Dia terlihat kesusahan melawan arus air yang cukup deras.

"To... lo... ng." Ia berusaha minta tolong meski terbata-bata, dengan kepala timbul tenggelam di permukaan air.

Aku bergegas berlari mendekatinya, namun tiba-tiba sekelebat cahaya kekuningan menggulung tubuh Raka dan membawanya ke dalam permukaan sungai yang terlihat membentuk lorong besar. Dalam beberapa detik, sungai itu kembali seperti sedia kala setelah menelan tubuh Raka.

Aku terkesima menyaksikan kejadian itu. Dadaku seketika sesak. Aku merasa bersalah telah mengajak Raka ke kampung kelahiranku yang ternyata sudah sangat berubah seratus delapan puluh derajat.

Saat termenung, tiba-tiba aku merasa sesuatu menarik kaki kananku. Semakin lama, tarikan itu semakin kuat.

"Arghhh!" Aku mencoba menarik kakiku agar tak terbawa arus sungai dan menemui nasib yang sama dengan Raka. Namun, tarikan tak berwujud itu semakin kuat dan aku tak mampu mengelaknya.

"TOLOOONG!" teriakku seiring dengan terjaganya aku dari tidur.

Aku mencoba mengatur napas yang tersengal. Dahiku yang sudah basah, kuseka dengan punggung tangan. Masih terbayang di pelupuk mata, mimpi yang seolah seperti nyata.





N A R S I HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang