7. Niat Terselubung

2.8K 125 13
                                    

Malam readers, masih setia nunggu kelanjutan kisah Narsih?

Langsung aja yuk!

Jangan lupa tinggalkan jejak; kritik dan saran juga boleh. Tapi yang membangun ya dan tetap sopan. 🙏




Nayara masih terlihat syok dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Wajahnya pun tampak pucat.

"Lo ngapain di luar sendirian, Nay? Kenapa enggak panggil kita berdua kalo memang lo pengin cari angin?" tanya Kenzo setelah melihat keadaan Nayara lebih tenang.

Gadis itu menggeleng. Masih dengan tatapan hampa dia berujar, "gua enggak bisa tidur. Kepikiran kejadian kemaren terus. Makanya gua nyoba keluar, barangkali udara dingin di luar bisa bikin tenang. Tapi gua malah liat perempuan itu ... dia ...." Nayara berhenti berucap. Dia menggigit pelan bibirnya, "gua takut banget, Ken."

Nayara menyeka kedua pipinya bergantian. "Gua masih enggak percaya sama kejadian yang menimpa Raka. Kasian dia, Ken. Pokoknya kita harus tolong dia."

Kenzo menghela napas berat. Pemuda itu seperti sedang mengumpulkan ide cemerlang.

"Gimana kalo kita lapor polisi aja!" usul Kenzo, beberapa detik kemudian.

"Jangan!" tampik Pak Harun, membuat kami bertiga sontak menatap ke arahnya bersamaan.

Beberapa menit kami menunggu, pria paruh baya itu malah menggantung kalimatnya. Dia seolah enggan memberikan alasan kenapa dia melarang kasus ini dilaporkan pihak berwajib.

Aku jadi curiga, ada hal ganjil yang disembunyikan Pak Harun. Jangan-jangan tenggelamnya Raka masih ada sangkut pautnya dengan pria lajang itu.

Dari awal, pria yang mengaku kepanjangan tangan Kades itu memang terlihat tak begitu antusias menyambut kedatangan kami. Penyambutannya hanya sekadar basa-basi saja. Aku menyesal tidak melakukan survey tempat terlebih dulu, jauh sebelum berangkat ke desa ini.

Entah mendapat bisikan dari mana, saat itu tiba-tiba terbersit dalam pikiranku ingin melaksanakan KKN di tempat ini. Tempat yang hampir dua puluh tahun tak lagi kujamah.

Hanya mengandalkan info dari Kades yang datanya kudapat dari seorang kerabat jauh. Semula Kades itu juga menolak keras niatku mengajukan KKN di desa yang dipimpinnya, terutama di Lembur Hideung.

Sebenarnya Lembur Hideung adalah dusun, yang menginduk pada desa Gunung Terang. Dulu namanya hanya disebut dusun 3. Entah siapa yang memulainya mengubah nama dusun 3 menjadi Lembur Hideung.

"Jika kamu tetap ingin KKN di sini, sebaiknya kamu pilih dusun lain, jangan Lembur Hideung," saran Kades beberapa waktu lalu.

Namun ketika kutanya, di antara 5 dusun yang dipimpinnya, dusun manakah yang tak berkembang atau perkembangannya sangat lambat? Beliau bergeming dan tak dapat mengelak jika Lembur Hideung-lah satu-satunya jawaban dari pertanyaanku. Akhirnya Kades itu pun menyetujui permohonanku KKN di sana, dengan catatan dia tak bisa bertanggung jawab penuh pada kami. Aku pun menyanggupinya tanpa sepengetahuan siapa pun.

Aku juga tak tahu persis, mengapa dulu keluarga besarku memilih pindah dari desa ini, dan menjual rumah serta tanah mereka meski dengan harga yang tak masuk akal.

Mereka pun menentang keras, ketika iseng-iseng aku menyampaikan niat ingin mengunjungi tempat ini lagi dengan dalih rindu tanah kelahiran.

"Jangan sekali-kali lagi kamu datang ke sana. Ingat!" ancam keluargaku, terutama nenek.

Menanggapi peringatan itu, bukan malah membuatku ciut. Justru aku semakin penasaran kenapa desa ini menjadi momok menakutkan bagi. Terlebih mereka tak pernah memberi tahu alasannya.

Dalam bayanganku sebagai pelajar yang selalu berpikir logis,  perkembangan zaman yang kian pesat pasti akan mengubah pola pikir masyarakat khususnya di desa yang entah kapan mulanya berganti menjadi Lembur Hideung.

Aku belum tahu persis keadaan penduduk di Lembur Hideung saat ini. Kemarin, setelah tiba di sini, kami diminta di rumah dulu untuk istirahat di tengah kepanikan kami menyaksikan tenggelamnya Raka. Aku sependapat dengan usul Kenzo, besok akan melaporkan kejadian kemarin pada pihak berwajib, sembari melihat-lihat keadaan desa.

"Sebaiknya, mulai besok kalian tinggalkan desa ini dan carilah tempat lain yang bisa kalian jadikan objek penelitian."

"Tapi kenapa, Pak?" tanyaku penasaran.

Pak Harun mendelik ke arahku, tatapannya begitu tajam menusuk.

"Apa kamu tidak pernah dengar cerita tentang Lembur Hideung?" Pak Harun malah balik bertanya sambil terus menatapku tanpa kedip, seolah ingin menelanku mentah-mentah.

Deg!

Dadaku berdesir mendengar kalimat pak Harun. Beberapa berita di koran lokal memang sempat mengangkat pristiwa tak masuk akal di desa ini. Tapi kupikir itu hanyalah dugaan-dugaan yang belum ditemukan duduk permasalahan sebenarnya.

Kenzo dan Nayara kali ini mengedarkan pandang ke arahku, beberapa detik. Ada tanda tanya besar di balik tatapan mereka.

"Desa ini adalah tanah kelahiran saya, apa salah jika saya sedikit mengabdikan diri untuk desa ini?" jawabku, menyembunyikan kecurigaan yang begitu kentara di wajah Kenzo.

Mendengar kalimatku, Kenzo malah tampak mendengus kesal. Lalu, tanpa segan dia menarik tangan Nayara dan membawanya pergi.

"Hei, Ken! Naya! Kalian mau ke mana?"

Kenzo dan Nayara  tak menghiraukanku. Akhirnya, aku berinisiatif mengejar mereka yang terlihat masuk ke kamar Nayara. Tak berapa lama, mereka keluar dengan menenteng barang milik gadis berambut legam itu.

"Ken, lo kenapa sih?"

Kenzo menegaskan rahangnya, terlihat dari ujung pipinya yang bergerak-gerak. Aku tahu Kenzo sedang emosi, tapi yang aku tidak mengerti kenapa dia bersikap demikian.

Dia terus bergeming. Tanpa mau menjelaskan kenapa sikapnya berubah seperti itu.

"Ini semua gara-gara lo!" Kenzo mengarahkan kepal tinjunya ke wajahku, tapi tak sampai menyentuhnya karena Nayara berteriak keras memanggil namanya.

"Kenzo, cukup!"

Dengan rahang yang semakin menajam, Kenzo menurunkan kepalan tangannya.

"Lo nyalahin gua?"

"Pikir aja sendiri!"

Nayara menengahi, saat emosiku mulai terpancing. "Sudah, Vin. Sudah," katanya sambil menuntunku masuk kamar. Kemudian dia kembali keluar.

***

"Tahan emosi lo, Ken. Kita harus tau keadaan Raka dulu, baru kita keluar dari kampung ini. Entah kenapa, gua ngerasa Raka itu masih hidup dan butuh pertolongan kita."

Dari balik sekat anyaman bambu, kudengar jelas Nayara menolak diajak pulang ke Bandar Lampung. Dia masih berat meninggalkan Raka yang belum jelas bagaimana nasibnya.

"Kita lapor polisi aja, Nay. Biar polisi yang urus. Kita pantau kabar Raka lewat keterangan polisi." Kenzo masih keukeuh dengan usulannya meski pak Harun sudah melarang keras.

"Enggak, Ken. Meskipun gua baru kenal dengan Raka, tapi gua enggak setega itu sama dia. Enggak masalah kita lapor polisi, tapi kita juga harus tetap di sini. Bila perlu kita juga ikut turun tangan membantu pencarian. Kita sama-sama ke sini, balik juga harus sama-sama!"

Kenzo tak lagi terdengar suaranya. Tak lama kulihat dia masuk ke kamar dan meletakkan kembali barang bawaannya di pojok kamar. Setelah itu, dia kembali keluar.

N A R S I HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang