3. Warung Soto Bude

4.3K 161 3
                                    

Mobil bus melaju membelah jalanan kota. Sesekali berhenti karena lampu merah atau hendak mengisi bahan bakar.

Sebagian besar mahasiswa sibuk dengan gawainya masing-masing. Sebagian lainnya memilih tidur.

Aku yang duduk bersebelahan dengan Raka, hanya membisu. Beberapa kali berusaha mengajaknya ngobrol, namun Raka tetap asik dengan dunianya sendiri. Bergeming dengan muka ditekuk.

Akhirnya aku memilih menikmati pemandangan yang terbingkai dari kaca jendela. Aku sengaja tak memainkan gawai seperti yang lain, untuk menghemat baterai. Sebab yang kutahu, dulu di Lembur Hideung belum masuk aliran listrik. Tak tahu jika sekarang.

Sementara Kenzo. Ah, seperti tak tahu dia saja. Jika ada perempuan yang dianggapnya menarik di sampingnya, temannya pasti dilupakan.

Dari tempatnya duduk, sesekali terdengar rayuan gombal keluar dari mulutnya. Menggiring hati wanita di sampingnya agar luluh.

***

"SAUNG GEDE! SAUNG GEDE!"

Suara kernet mengagetkanku. Kukerjap-erjapkan mata, agar penglihatan lebih jelas. Tak disangka, ternyata aku ketiduran.

Mobil bis yang kami tumpangi berhenti tak jauh dari perempatan jalan menuju tempat tujuan kami. Daerah ini bernama Saung Gede.

Kulihat Raka sedang meregangkan otot-ototnya. Rupanya ia juga tertidur sepanjang perjalanan. Sementara Kenzo dan Nayara sudah melangkah hendak turun dari bis.

Setelah mengambil barang bawaan masing-masing di bagasi, kami menyebrang jalan menuju gorong-gorong.

"Kita makan dulu, yuk. Laper banget nih," usul Nayara setelah sampai di tepi jalan raya.

Aku memalingkan wajah ke perempatan arah jalan masuk Lembur Hideung. Seingatku, di sana ada warung soto yang cukup enak. Harganya pun sangat terjangkau. Kemudian, aku mengajak ketiga temanku pergi ke sana.

Semula mereka terlihat ragu, mungkin karena melihat penampakan warung yang terlihat tak terawat.

"Makan di sana?" tanya Raka, tak yakin.

"He'em, nggak ada pilihan," kataku.

Raka menghela napas berat, aku mengerti apa yang tengah di pikirkannya.

"Ada mi instan, kan?" tanyanya lagi, agak ragu.

"Hahaha! Ini udik gak udik-udik banget kali, Bro," sambar Kenzo. Kedua matanya memandang seperti mengejek Raka.

"Ya dah, yuk! Kelamaan mikir malah maag gua kambuh ntar." Nayara ikut menimpali. Gadis itu melangkah sambil mengangkat tas punggungnya.

"Sini biar gua bawain tas lu, Nay." Kenzo menawarkan bantuan pada cewek yg terlihat kesulitan dengan bawaannya.

"Enggak usah, Ken. Lagian bawaan lu juga udah berat banget kayaknya."

"Bawain punya gua aja, Ken. Biar gua yang bawa gitarnya," sergah Raka, sambil cengar-cengir.

"Nggak sudi! Bawaan lu kayak orang mau migrasi," dengkus Kenzo.

Raka memutar bola matanya sambil memonyongkan bibir.

Langkah kami terhenti di depan warung soto milik Bude, entah bude siapa. Yang jelas orang tuaku dulu menyebutnya begitu.

Sekilas, tak ada perubahan dengan warung yang terletak agak ke dalam dari pinggir jalan itu. Hanya saja, dinding yang terbuat dari anyaman bambu, terlihat tak terawat. Banyak sarang rayap yang membentang saling silang mirip jalan layang di kota besar.

Namun, kulihat warung itu masih tetap buka. Beberapa minuman kemasan berderet di atas meja. Botol kecap, cuka, tempat sendok, mangkuk cabe, juga lengkap tersedia di sana

N A R S I HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang