Hallo readers, saya ucapkan selamat puasa buat yang menjalankannya.
Sebelum baca, boleh aku minta follow dong buat yang belum. Follow gratis kan. 😊
Biar aku makin semangat nulisnya. Terima kasih 🙏***
Aku memilih masuk kamar daripada berlama-lama di dapur. Sembari menunggu kedua temanku yang belum juga kembali, kubuka notebook yang sengaja kubawa dari rumah.Kuperiksa kembali file rencana program kerja KKN yang belum sempat kurampungkan. Ada banyak rencana kegiatan yang sudah ku-list dalam tabel.
Kuamati sekali lagi beberapa program yang tak mungkin kami lakukan. Aku mematung beberapa menit di depan layar notebook-ku, saking bingungnya. Nyaris, sebagian besar program kerja tidak mungkin bisa kami aplikasikan mengingat keadaan lokasi yang seperti ini.
Aku menghela napas dalam-dalam. Dalam hati aku merutuk diri, betapa sok pintarnya diri ini. Aku akui, aku memang tidak pintar. Memiliki daya pikir yang biasa saja. Kukira dengan KKN di tanah kelahiran ini akan mempermudah segala kerjaku. Hingga aku tak susah-susah jika suatu saat harus kembali ke sini jika ada hal yang kurang dalam pembuatan laporan.
Yang terpenting bagiku adalah bisa lulus kuliah tahun ini dengan segera. Toh, apalagi yang kucari, sedang karir sudah menungguku di depan mata.
"Yang penting ada ijazah sarjana. Masalah kerjaan, kamu tinggal pilih mau ke mana," ucap papaku beberapa waktu lalu. "Mau meneruskan bisnis papa, boleh. Atau mau coba bekerja di bank? Ada Om Dino. Atau ..., pilihan ada di tanganmu."
Kuremas rambutku sekuat-kuatnya. Kalau saja aku tahu akan serunyam ini jadinya, pasti aku tak sudi KKN di sini. Belum lagi harus mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin kelompok.
Argghhh! Pusing!
Kututup notebook-ku secara asal, dan kembali keluar kamar. Di kursi kayu, aku memilih duduk menghadap pintu sembari mengumpulkan ide lain, juga menunggu kedua rekanku.
"Makan dulu, Vin."
Aku tersadar dari lamunan saat menyadari seseorang sudah ada di belakangku membawa semangkuk sup.
Asap putih masih mengepul di atasnya, menandakan sup baru saja diangkat dari tungku. Aroma amis daging dari masakan yang lebih tepat disebut daging rebus, menguar. Membuat selera makanku rusak.
Astaga, belum hilang rasa mual saat pak Harun mengolah daging itu beberapa saat lalu, kini muncul lagi aroma daging yang baunya berbeda dari daging pada umunnya itu.
"Terima kasih, Pak. Aku nunggu Kenzo dan Nayara dulu, boleh? Biar makan sama-sama."
Pria paruh baya itu mendelik beberapa detik ke arahku. Ada gurat kecewa di wajahnya, mungkin karena aku terkesan tak menghargai jerih payahnya.
"Ya sudah," jawabnya sambil berlalu.
Beberapa saat setelah pak Harun pergi, kuberanikan diri menyentuh sendok yang bagian skopnya tenggelam dalam sup. Kuaduk-aduk perlahan, mengangkat beberapa potong daging dan mengamatinya lamat-lamat.
"Hoekk!"
Buru-buru kubungkam mulutku. Khawatir pak Harun menangkap basah tingkahku.
Tak kusangka pak Harun sudah berada di dekatku. Pakaiannya sudah lebih rapi dari sebelumnya.
Kulihat di tangannya, tercincing dua plastik asoi berwarna hitam. Kelihatannya dia akan pergi.
Aku menatapnya dengan rasa tak enak hati. Tapi dia sama sekali tak menggubrisku.

KAMU SEDANG MEMBACA
N A R S I H
HorrorKehadiran Narsih di dunia ini dianggap terlalu cepat. Kedua orangtuanya belum menginginkan kehadiran anak dalam rumah tangga baru mereka. Hanya karena alpa mengonsumsi pil KB, benih sang suami ternyata berkembang di rahim isterinya. Berulang kali sa...