"Masih jauh perjalanan kita, Pak?"
Pertanyaan Nayara membuat lelaki lima puluhan tahun itu agak terkejut. Sebab daritadi dia hanya diam, entah merasa grogi berada di dekat perempuan secantik Nayara atau memang fokus mengendalikan kemudi di tangannya.
"Em, mungkin sekitar satu jam lagi, Neng," jawabnya kemudian.
"Bapak asli Lembur Hideung?"
Lelaki itu diam beberapa saat. "Dulu iya. Sekarang saya sudah pindah, tapi enggak jauh dari sana sih."
"Lho, kenapa pindah, Pak?"
Lelaki paruh baya itu kembali terdiam. Dari raut wajahnya tampak kebingungan menjawab pertanyaan Nayara untuk kali ini. Padahal gadis itu merasa, pertanyaannya tidak cukup sulit untuk dijawab.
Hem, tapi mungkin terlalu privasi sehingga bapak itu enggan memberitahu.
"Panjang ceritanya, Neng. Yang jelas, enggak cuma saya yang memilih menjauh dari kampung itu. Neng sama teman-temannya mau penelitian di sana?"
Nayara tersenyum sebentar. "Bukan penelitian, Pak. Tapi KKN. Kuliah Kerja Nyata," tukasnya, "Ngomong-ngomong, saya masih penasaran nih Pak, kenapa banyak yang pindah dari kampung itu?"
Lelaki itu berdehem. "Yang jelas, pada pengin hidup tenang, Neng. Di kampung itu agak kurang nyaman. Makanya saya pindah. Enggak tau kalo yang lain, mungkin beda lagi."
"Oh, cuma karna itu. Kirain kenapa. Oh iya, sampai lupa. Saya belum ngenalin diri. Saya Nayara, Pak. Dan ketiga teman di belakang, Dalvin, Kenzo dan Raka."
Lelaki itu tersenyum simpul. Kemudian ia pun memperkenalkan diri bernama Jumani.
"Tapi orang di kampung biasa manggil saya Oman," terangnya.
Obrolan Nayara dengan Oman terus bergulir sepanjang perjalanan.
Seketika dahi Oman berkerut saat Nayara menceritakan pengalamannya bersama teman-teman di warung soto perempatan jalan tadi.
"Warung itu kan udah lama enggak ada yang nempatin, Neng. Dulu sih Bude Rum yang nunggu, sebelum akhirnya gubuk itu roboh ketabrak truk yang nyasar. Dan Bude Rum pun meninggal di tempat," terang Oman.
Nayara terbelalak mendengar penuturan Oman. Rasanya sulit diterima akal sehat, tapi ia mengalami sendiri kejanggalan itu.
"Beberapa orang juga pernah ngalamin nasib yang sama kayak Neng dan teman-teman. Tapi anehnya semuanya pendatang baru."
"Kenapa bisa begitu ya, Pak?"
Oman menggedikan bahu, "enggak tau juga tuh."
Tiba-tiba Oman mengarahkan stir ke sisi kiri jalan. Kendaraan pun sesaat berhenti di sebuah gang seluas kurang lebih satu meter. Di mulut gang terdapat sebuah gapura sederhana yang terbuat dari bambu. Tepat di atasnya terdapat sebuah tulisan, Lembur Hideung.
"Kita udah sampe, Neng."
Oman pun turun dari kendaraannya, membantu menurunkan barang bawaan keempat anak muda.
Setelah semua turun dan memegang barang bawaan masing-masing, Oman berkata,"Mohon maaf, saya cuma bisa antar sampe sini, soalnya mobil enggak bisa masuk."
"Oh, ya sudah enggak apa, Pak. Terima kasih udah bersedia anter kita, ini ada sekadar uang rokok," ucap Nayara sambil menyelipkan lipatan uang dalam genggaman tangan pria paruh baya itu.
Agak ragu-ragu dia menerima pemberian itu.
"Oya, kira-kira masih jauh enggak masuk ke dalam sana, Pak?" tanya Kenzo.
"Enggak jauh kok. Paling sekitar tiga ratus meter. Pokoknya dari sini lurus aja, nanti ketemu sungai. Nah, enggak jauh dari sungai itu Lembur Hideung udah deket banget."
Ya, aku ingat. Ternyata sepeninggal kami sekeluarga, kampung kelahiranku tidak banyak berubah. Tepatnya tidak banyak mengalami kemajuan.
"Apa sudah ada jembatan di atas sungai itu, Pak?" tanyaku kemudian, sebab dulu belum ada jembatan penghubung. Tetapi untungnya banyak batu-batu besar yang menyembul di sungai. Hingga bisa digunakan untuk menyebrang.
Untungnya sekarang belum musim hujan. Sebab jika hujan, lalu banjir, batu-batu besar akan tertutup air. Sehingga sungai tidak bisa dilalui.
"Dulu pernah dibangun jembatan kayu beberapa kali secara swadaya, tapi enggak pernah tahan lama, Mas. Akhirnya sampe sekarang enggak pernah dibangun lagi."
Setelah merasa cukup memenuhi kewajibannya, Pak Oman pun mohon diri lalu memutar balik kendaraannya dan pergi meninggalkan tempat itu. Kami berempat pun mulai menyusuri gang menuju Lembur Hideung.
Sepanjang perjalanan kami disuguhkan dengan pemandangan perkebunan kelapa yang banyak ditumbuhi rumput ilalang yang tingginya melebihi pinggang. Namun tak satu pun dari kami yang berminat mengabadikan gambar diri di sana.
Aku sendiri sudah merasa sangat lelah dan ingin segera sampai tujuan. Kulirik ketiga temanku, ternyata raut wajah mereka pun terlihat sangat kelelahan. Terlebih Raka.
Sayup-sayup aku mendengar suara aliran sungai, terdengar sangat dekat. Artinya tidak lama lagi kami sampai di tempat tujuan. Kenzo terlihat bersemangat memacu langkah. Disusul Nayara, juga aku. Begitu pun dengan Raka, wajahnya sudah terlihat semringah dari biasanya.
Langkah kami lebih gesit lagi saat sungai yang airnya begitu jernih sudah tampak di depan mata. Sebuah pemandangan yang sudah lama tak pernah lagi kulihat.
Kenzo menciduk air dengan kedua telapak tangan, dan mengguyur wajahnya.
Naya tampak bersemangat duduk di sebuah batu dengan posisi kaki menyentuh air. Dia tak memedulikan ujung celananya basah terendam.
Sementara Raka tampak berlari agak jauh ke hilir sungai. Kamudian dia bersembunyi di balik batu yang cukup besar. Lalu dia berteriak.
"Hei, jangan liat kesini!"
Sudah kuduga, ternyata Raka sedang akan memenuhi panggilan alam.
"Najoong!" Sahut Kenzo, memecah riak suara air sungai.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah Raka bersembunyi, bersamaan terdengar suara debur air yang mendentum. Semua mata tertuju ke Raka.
Kami melihat pusaran air yang tiba-tiba sudah menggulung tubuh Raka. Di tengah kepanikan yang mendera, kami berusaha menyelamatkannya sekuat tenaga.
"RAKA!"

KAMU SEDANG MEMBACA
N A R S I H
HorreurKehadiran Narsih di dunia ini dianggap terlalu cepat. Kedua orangtuanya belum menginginkan kehadiran anak dalam rumah tangga baru mereka. Hanya karena alpa mengonsumsi pil KB, benih sang suami ternyata berkembang di rahim isterinya. Berulang kali sa...