Hallo readers!
Alhamdulillah bisa update siang hari. Semoga menambah semangat kalian yang masih #dirumahaja ya. 😎 semoga pandemi ini lekas berakhir.Oya, masih penasaran enggak dengan kelanjutannya ceritanya? Absen di komen ya, biar aku semangat nulis kelanjutannya. 🙂
Suara ayam hutan melengking dari kejauhan. Cahaya matahari menerobos di celah-celah bilik bambu kamar yang kutempati, membentuk bulatan-bulatan mirip lampu natal. Beberapa cahaya mengenai kedua mataku, membuatku terjaga dari tidur.
Sial, aku kesiangan!
Di tempat tidurnya, kulihat Kenzo sudah tak ada. Apa mungkin dia memang tidak tidur di kamar?
Kukerjap-erjapkan mata sembari bangkit ke luar kamar, mencari Kenzo dan Nayara. Barangkali setelah perdebatan kecil semalam, mereka ketiduran di luar.
Di mulut pintu kamar, kulihat suasana rumah seluas 40 meter persegi itu tampak lengang. Pak Harun, sang pemilik rumah tak terlihat batang hidungnya.
Aku pun menyusuri seluruh bilik, tapi tak kutemukan siapa pun. Ke mana Kenzo dan Nayara, apa mereka benar-benar kembali ke kota tanpa memberitahuku?
Ah, tidak mungkin. Buktinya barang-barang mereka masih ada di sini. Mungkin mereka sedang keliling dusun, dan tidak tega membangunkanku yang tengah pulas.
Aku pun melangkah ke luar rumah, sesekali berteriak memanggil nama mereka berdua, bergantian. Kususuri samping kiri, kanan, dan belakang rumah, mereka pun tetap tak ada.
Ke mana mereka? Hem, aku tahu. Mereka pasti sedang ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian yang menimpa Raka. Iya, aku yakin.
Tapi ... setahuku di sekitar sini tidak ada pos polisi. Meskipun ada, tempatnya lumayan jauh, tepatnya di dekat kantor kelurahan Gunung Terang, di dusun 1. Jaraknya mungkin lebih dari lima kilometer. Apalagi jika harus ditempuh dengan berjalan kaki, pasti akan terasa berkali lipat jauhnya.
Sejenak kulupakan mereka dengan terus melangkah menyusuri jalan di depan rumah Pak Harun. Sambil berjalan menyusuri jalan tanah seluas satu meter, yang pada sisi kanan kirinya ditumbuhi rumput liar, aku masih saja menebak-nebak ke mana mereka pergi.
Pikiranku tentang mereka benar-benar bisa teralihkan setelah melihat pemandangan di sekitar. Sepanjang jalan, aku baru sadar jika dusun Lembur Hideung memang jauh dari kata berkembang. Bahkan penduduk desanya pun sangat sedikit. Dari sekian banyak rumah yang hampir seluruhnya berdinding anyaman bambu, tak lebih dari lima belas yang terlihat masih ada jejak kehidupan. Terlihat dari jemuran pakaian juga hasil bumi di pekarangan rumah mereka.
Jarak antara rumah ke rumah pun cukup jauh, paling dekat sekitar lima sampai sepuluh meter. Ada beberapa rumah yang sudah ditumbuhi semak belukar, bahkan ada yang sudah roboh. Jika diperhatikan dengan saksama, dusun ini memang terlihat menyeramkan.
Entah sudah berapa meter aku mengikuti ayunan kedua kaki, tapi tak ada satu pun penduduk yang kutemui. Benar-benar terlihat kampung mati. Hanya sesekali terdengar suara burung, juga kawanan kera yang bersahutan dari kejauhan.
Jika seperti ini keadaannya, bagaimana hendak melakukan KKN? Sementara warga yang perlu diberi pemahaman dan dibantu berpikir luas pun, tak ada. Benar yang diucapkan Kades beberapa waktu lalu. Harusnya aku memang tidak memilih dusun ini.
Apakah kami juga harus mengikuti saran pak Harun, agar mencari dusun lain? Saran pria itu, sepertinya boleh juga dipertimbangkan.
Langkahku terhenti saat melihat sebuah papan usang yang terpampang beberapa meter di hadapanku, menempel di pohon langsat yang sudah berumur. Samar-samar aku melihat ada tulisan berwarna merah yang terukir di sana. Penasaran, aku pun bergegas mendekatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
N A R S I H
HorrorKehadiran Narsih di dunia ini dianggap terlalu cepat. Kedua orangtuanya belum menginginkan kehadiran anak dalam rumah tangga baru mereka. Hanya karena alpa mengonsumsi pil KB, benih sang suami ternyata berkembang di rahim isterinya. Berulang kali sa...