Chapter 2

2.5K 176 52
                                    

Minhyung melirik Jeno yang memejamkan matanya di kursi penumpang. Tumben sekali adik semata wayangnya ini minta jemput usai pulang dari latihan basket. Biasanya Jeno pulang jalan kaki bersama Jaemin, Renjun dan Haechan. Mau tidak mau terbersit sedikit rasa khawatir dalam hati pemuda berumur 22 tahun itu.

"Kakak kenapa melirikku terus?"

Rupanya Jeno tidak tidur. Ia tahu kakaknya sejak tadi mencuri pandang kearahnya. Tetapi ia terlalu malas membuka matanya.

"Kakak pikir kau tidur." Gumam Minhyung.

"Tidak bisa tidur." Jeno membenarkan posisi duduknya, sesekali meremas dada kirinya yang masih terasa nyeri.

"Jantungmu sakit lagi, hm?" Minhyung memandang khawatir kearah Jeno, yang dijawab dengan gelengan kepala oleh sang adik.

"Hanya sedikit berdebar. Jangan terlalu khawatir." Kata Jeno enteng. Minhyung mendesah panjang, remaja yang ada disampingnya ini seperti tidak memahami keresahannya dan kedua orang tua mereka.

"Jeno..." Minhyung mengalihkan matanya dari jalanan untuk beberapa saat untuk menatap Jeno, "...kakak tidak pernah keberatan kau ikut ekskul dance ataupun basket. Tapi kakak hanya ingin kau tahu sampai mana batasmu sendiri."

"Iya, aku tahu, kak."

"Tidak, kau tidak tahu!" Minhyung menyela ucapan Jeno dengan cepat, "Jantung berdebar itu tanda serangan jantung ringan. Kakak yakin kau mengabaikannya sejak tadi kan? Makanya kau merasa nyeri di dadamu sekarang."

Jeno mengalihkan matanya ke luar jendela. Tebakan kakaknya benar, ia sudah merasa jantungnya berdebar setelah latihan sesi pertama selesai. Tetapi ia tidak mempedulikannya dan tetap ikut hingga sesi terakhir selesai.

"Aku hanya tidak ingin berbeda dengan teman-teman, kak. Mereka bisa turun di satu pertandingan penuh, kenapa aku harus turun hanya setengah pertandingan? Selama aku tidak kolaps, kurasa itu tidak masalah." kata Jeno.

"Bukan perkara kau akan kolaps atau tidak, Jeno. Ini tentang jantungmu yang semakin hari fungsinya tidak sebaik hari sebelumnya. Sudah jelas kau berbeda. Long QT Syndrome bukanlah penyakit sembarangan. Kalau kau sampai benar-benar kelelahan, jantungmu akan berhenti saat itu juga. Pikirkan perasaan ayah dan ibu juga, jangan hanya egomu sendiri." Ujar Minhyung panjang lebar.

"Tapi kakak percaya aku sanggup kan? Kakak percaya aku kuat kan, kak?" tukas Jeno.

"Kakak selalu percaya itu. Tapi sebesar apapun perasaan itu, rasa cemas kakak pasti jauh lebih besar, Jeno. Setiap hari kakak selalu berpikir tentangmu yang mungkin tiba-tiba sesak nafas, kolaps, atau terkena serangan jantung. Pikiran buruk itu selalu bersemayam di kepala kakak, diantara rasa percaya bahwa kau baik-baik saja."

Minhyung membelokkan mobilnya ke halaman sebuah rumah besar. Ia melihat mobil ayahnya sudah ada di garasi, tanda pria itu sudah ada dirumah. Sangat jarang Yunho berada di rumah saat jarum jam masih menunjukkan pukul 7 malam. Biasanya pria itu akan pulang saat anak-anaknya sudah tidur.

"Kak, jangan bilang ke ibu kalau aku terkena serangan jantung ringan. Ibu nanti khawatir." Kata Jeno sebelum turun dari mobil Minhyung. Ia masuk mendahului sang kakak yang memandangnya dengan sendu.

Kapan kau mengerti, Jeno? Kakak khawatir padamu...


oooOooo


Boa mengusak rambut panjangnya saat seseorang menggedor pintu kamarnya dengan pelan. Matanya melirik jam weker yang ada di atas nakas, pukul 02.39. ia segera mengikat rambutnya dengan asal dan membuka pintu. Betapa terkejutnya ia melihat Jeno terduduk lemas di depan pintu dengan nafas terengah.

Last DanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang