Part 3

36 2 0
                                    

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, itu sudah pasti. Bahkan manusiapun jika tiba saatnya akan kembali juga kepada Sang Pencipta. Jalan takdir tidak pernah ada yang bisa menebaknya, seandainya saja kita bisa memerankan peran masing-masing dengan kemauan kita sendiri. Namun, kita hanyalah pion yang harus siap akan dibawa kemana saja. Mengikuti jalan takdir yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta.

Sudah seharian ini aku menghabiskan waktu di kamar, biasanya aku akan keluar untuk sekedar jogging di taman atau belanja. Namun pengecualian untuk hari ini, setelah puas menangis semalaman dan sukses membuat Merinda panik luar biasa aku lebih baik mengurung diri. Bahkan telepon berulang kali darinya sama sekali tidak ku angkat, sengaja aku abaikan. Aku masih terlalu shock dengan pertemuan tak terduga semalam.

Untuk apa dia ada disana? Sama siapa dia kesana? Sejak kapan dia pergi ke tempat seperti itu?

Nyatanya sampai sekarang aku masih belum bisa berhenti memikirkannya. Andai rasa ini bisa aku atur sedemikian rupa seperti mauku mungkin semuanya akan terdengar lebih mudah. Namun kenyataan di depan mata semua tidak semudah itu. Ku hembuskan nafas sekali lagi, ternyata untuk move on saja aku belum bisa.

Bagaimana bisa aku move on darinya jika hatiku saja masih tetap stay on? Rasanya ini menggelikan untukku.

Ku dengar hp ku berbunyi lagi, tak perlu melihat untuk tahu siapa penelponnya. Aku sudah bisa menebak, sejak sepuluh jam terakhir siapa yang menelponku selain Merinda.

"Hallo.." ucapku.

"Astaga. Ya Tuhan gue hampir gila nyariin lo semalam. Dan sekarang lo menjawab telepon kaya gini doang, Claryssa? Astaganaga dragon, lo mau bikin gue mati cepat ya?" cerocosnya seperti biasa.

"Oke sorry, Mer. Kalo lo mau tanya gue baik-baik aja, selain mata gue yang membengkak gue baik-baik aja."

"Lo gila emang. Ya Tuhan kenapa gue harus punya sahabat semacam dia? Gue ga mau tau, pokonya lo utang penjelasan sama gue. Kenapa lo kabur semalam dan ninggalin gue sendirian kaya orang bego nyariin orang yang malah udah pulang dengan santainya!"

Aku hanya memutar bola mata ke atas, malas menanggapi ucapan si ratu drama. Meskipun aku tau dia ga bakalan lihat apa yang aku lakukan saat ini.

"Oke. Nanti gue jelasin, ceritanya panjang. Gue mau cari makan, laper. Fyi, dari pulang club semalem gue belum makan apapun. Bye.." ku tutup telepon dengan sepihak tanpa menghiraukan Merinda yang pasti mencak-mencak disana. Aku tersenyum membayangkan dia pasti mengomel panjang setelah ini. Dasar nenek-nenek.

Aku menoleh ke arah laci samping tempat tidur, buka ga ya kataku dalam hati. Dari semalam aku sudah memantapkan hati untuk membuang semua hal kenangan ku dengan Rafael, bahkan kalau perlu aku akan membakarnya supaya tidak ada yang tersisa. Kurang ajar sekali, melihat dia dalam kondisi baik-baik saja membuatku geram bukan main. Aku bahkan jungkir balik semenjak dia pergi meninggalkanku tiga tahun yang lalu.

Ku bakar habis semua benda kenangan pemberiannya, foto-fotoku dengannya, semuanya tanpa tersisa. Mataku menatapnya untuk yang terakhir kali, mencoba meraba hatiku. Oke, sepertinya ini bakal baik-baik saja.

Sampai di foto terakhir, fotonya yang sedang tersenyum sambil menatap jalanan saat sedang menyetir. Ku ambil candid waktu itu, tanpa sepengetahuan Rafael. Dan tiba-tiba semua moment saat itu terekam jelas di ingatan, seolah cukup dengan melihat fotonya saja aku bisa mengingat dengan detail kala itu. Sesak di dadaku muncul lagi, ternyata aku belum cukup kuat untuk ini. Hatiku masih sakit tiap kali ku ingat kenangan bersamanya.

Akupun jongkok untuk mengambil sisa fotonya. Ternyata aku masih di tempat yang sama, di ruang nostalgia ini tanpa berniat untuk benar-benar meninggalkannya. Bagaimana aku bisa pergi dari tempat ini, jika untuk menghapus bayangnya saja sulit.

Ini bukan perkara yang mudah.

***

Move on Or Stay on??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang