08

62 9 4
                                    

"Hei, Ashia."

"Huh?"

Kini adalah waktunya istirahat tiba, bel berdering beberapa menit lalu. Lalu Aku dan Ashia sekarang tengah terduduk di meja dengan dua kursi di kantin sekolah.

Sebenarnya Ashia membawa bekalnya sendiri, namun Aku sedikit memaksanya untuk menemaniku membeli makananku, sekaligus makan bersama di kantin ini.

Ada sebuah tujuan tersendiri di mana Aku melakukan hal ini, salah satunya karena reputasiku.

Aku mencoba menguji Ashia terhadap hal ini, di tempat di mana banyak siswa lain yang memandang kami. Menganggap aneh seorang gadis menawan yang sedang duduk bersama dengan seseorang yang bisa dibilang paling dibenci.

Ketika anggapanku adalah Ashia akan menolak, dia malah mengkuti alur yang kubuat. Walaupun akhirnya Aku merasa sedikit bersalah karena ini.

Kurasa Aku juga harus membalas budi padanya...

"Ini tentang ledakan yang terjadi kemarin."

Suara yang kukeluarkan terdengar pelan yang cukup hanya untuk Ashia. Tekanan nada yang kukeluarkan juga sedikit lebih berat dari biasanya.

Kulihat ekspresi di wajah Ashia menanggapinya dengan serius, dia seolah tahu apa yang ingin kuutarakan.

Sebelum Aku berkata lebih banyak, biarkan Aku mengingat kembali sesuatu yang baru beberapa lama berada dalam pikiranku.

Yaitu, Ashia ada hubungannya dengan insiden Bom itu.

Anggap saja ini sebagai firasatku, Aku memang tidak punya bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, namun Ashia bukanlah orang yang pandai menyembunyikan sesuatu, di balik ekspresi sinisnya itu, seringkali Aku bisa mengetahui apa yang sedang berada dalam pikirannya.

Walaupun terkadang Aku juga kebingungan terhadap sesuatu. Dan untuk menghormati privasinya itu, Aku selalu mencoba untuk tidak mencoba melihat lebih jauh ke dalam dirinya.

Saat ini Peran Ashia dalam insiden itu, masih abu-abu. Setidaknya Aku akan mengetahuinya setelah mengutarakan kejadian itu.

"Aku berada di sana."

Terdapat jeda beberapa detik ketika kalimat itu keluar dari mulutku.

Ashia memandangku, semakin lama pupil matanya semakin melebar. Sesuap sayuran yang berada di garpunya terhenti ketika menuju mulutnya.

"Itu bom bunuh diri, Aku melihat pelaku meledak."

Tentu saja, tidak ada nada bercanda apapun yang keluar. Keseriusan yang kukatakan barusan bertujuan untuk membuat Ashia tidak menyangkal pernyataanku.

"Aku beruntung bisa selamat."

Terima kasih juga pada Nephityx karena sihir pelindungnya, Aku bisa pergi menjauh tanpa luka.

Namun inti perkataanku berada pada kalimat selanjutnya...

"Tapi mereka ... Aku melihat beberapa orang terluka, ada anak-anak di sana."

Seolah merubah nada pembicaraanku, suara kesedihan berhasil sempurna diucapkan olehku. Aku tertunduk, dengan kedua tangan yang menopang dahiku.

Di sela-sela jari tanganku, Aku mengintip, melihat ke arah Ashia.

Bisa kulihat di sana, seolah tidak peduli menyembunyikan kebenaran tentang dirinya lagi, Ashia terlihat memasang muka penuh penyesalan. Tangannya mengepal, terlihat bergetar menggenggam garpu yang terlihat remuk.

DesiresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang