09

25 5 3
                                    

Jadi apa yang diinginkan temanku ini?

Apa yang membuat Ashia sampai mengikutiku untuk izin pergi ke toilet?

"Ashia, ada apa?"

Aku mengatakan hal itu dengan pelan di lorong sekolah yang tidak ada siapapun kecuali Kami berdua.

Walaupun tiada suara derat sepatu yang terdengar, keberadaan Ashia yang seolah mengendap-endap bisa kusadari.

Aku yang langsung berbalik menghadap kearahnya, bisa melihat sedikit keterkejutan di wajahnya.

"Tidak, apa ... apa kau baik-baik saja?"

Jadi begitu.

Sepertinya Ashia masih mengkhawatirkanku atas kejadian ledakan itu.

Padahal Aku hanya menceritakan kejadiannya secara lisan, dan Aku juga sudah sangat yakin dengan tingkah lakuku yang seolah tidak terjadi apa-apa.

Walaupun tentu saja, belakangan ini Aku hampir selalu memikirkan peristiwa yang ada hubungannya dengan sihir itu.

Aku sendiri mencoba tidak terlalu menghiraukannya, hanya ... entahlah, Aku memiliki perasaan bahwa hal ini tidak boleh seluruhnya kuabaikan.

"Ashia, Kau lihat Aku tidak apa-apa 'kan? Jadi kau benar-benar khawatir padaku? Aku senang mendengarnya."

Dengan nada bercanda, Aku mencoba menggodanya.

"....siapa yang khawatir padamu."

Ini. Lebih baik Ashia bersikap seperti ini.

Tatapan matanya yang seolah melihat rendah padaku, berarti bahwa dirinya telah kembali menjadi Ashia yang kukenal.

Tapi Ashia, rasa khawatirmu padaku itu tidaklah wajar.

Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?

'Neph, apa kau merasakan sesuatu yang aneh darinya?'

Aku tahu Nephityx dari tadi menggunakan penglihatanku sebagai informasi visual untuknya, aliran sihir tak kasat mata yang terasa semu namun nyata adalah bukti yang kurasakan.

Aku sendiri belum bisa melakukan hal yang sama padanya, namun setidaknya Aku bisa merasakan aliran sihir yang Ia salurkan padaku.

'Tidak.'

Jadi apakah ini hanya firasatku saja, bahwa sebenarnya Ashia hanya khawatir padaku karena Aku ini temanya?

"Hei, setidaknya khawatirlah padaku!"

'Neph, kita harus menyelidiki hal ini.'

'Terserah padamu.'

Maaf Ashia, Aku memang menganggapmu sebagai temanku.

Tapi itu dan ini adalah hal yang berbeda.


--

Ashia Callista, lahir 12 September. Saat ini berdomisili Jakarta. Hanya harus melewati satu stasiun dari sekolah untuk tiba di rumahnya.

Anak tunggal, tinggal bersama Ayahnya. Sang Ibu telah meninggal di waktu yang tidak kuketahui.

Ayahnya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. Kehidupan mereka jika dipandang dari luar terlihat sangat berkecukupan.

Semua berkas yang memiliki informasi tentang dirinya, tidak menunjukan kejanggalan apapun.

Ashia Callista, secara ringkas hanyalah gadis normal.

Sekarang jam empat sore, Aku mengikuti setiap langkah Ashia. Dan kali ini Ia setelah pulang sekolah, langsung menuju Rumahnya.

DesiresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang