2

492 55 3
                                    

Mungkin bagi sebagian orang menganggap bahwa jika terlahir menjadi bagian dari keluarga kaya adalah suatu keberuntungan. Tanpa melihat kondisi seperti apa di balik kekayaan itu. Hanya sebatas berpikir orang kaya selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan dalam sekejap tanpa harus menunggu lama. Dalam kasusku kali ini pikiran itu tidaklah salah. Seperti saat ini, aku yang sudah memesan VVIP room di hotel milik keluargaku.


Suasana di ruangan hotel ini terasa hening sejenak. Seseorang dengan mata sabitnya terlihat duduk tenang dihadapanku. Tidak ada yang berubah. Baik senyumnya maupun sikapnya. Hanya saja sosoknya terlihat lebih dewasa sekarang ini.


“Kau tumbuh dengan baik, Taemin.” Jinki hyung. Laki-laki yang saat ini sedang meletakkan kembali cangkir teh yang baru saja ia minum mencoba untuk membuka sebuah percakapan diantara kami. Bibirnya membentuk tipis senyuman ramah.


“Seperti yang kau lihat,” sahutku dengan suara rendah. Aku berusaha untuk tetap terlihat tenang, menyamankan kembali posisi dudukku di atas sofa mewah berwarna merah maroon ini.


“Tidak banyak yang berubah, masih ada beberapa hal yang tetap sama. Bagaimana sekolahmu?” tanya Jinki hyung menatap tepat ke arah manik mataku.


“Tidak ada yang spesial. Semuanya berjalan dengan membosankan.” Jawabku malas.


Jujur saja sebenarnya tujuanku datang ke hotel ini tentu saja untuk istarahat dan meredamkan emosi. Ingat bukan kejadian sebelum ini?


Namun, siapa sangka aku akan bertemu lagi dengannya?


“Ada perlu apa Jinki hyung disini? Dan kapan hyung tiba?” Aku mengemukakan pertanyaan yang sejak tadi menggelayuti pikiranku.


“Perusahaan cabang Seoul sekarang ini sedang membutuhkanku. Ada beberapa masalah yang harus aku tangani disini. Aku tiba pagi tadi,” Jawabnya dengan raut wajah yang serius.


Apa ini ada hubungannya dengan rapat yang dilakukan oleh Eomma?


Di saat aku sedang sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba saja Jinki hyung bertanya, “Kudengar Minho kembali ke Korea? Kau pasti sudah menemuinya, bukan?”


Lanjut saja aku langsung mendengus pelan. Lagi-lagi pertanyaan tentang lelaki brengsek itu, hampir muak aku mendengarnya. Aku memutar bola mataku jengah, dan berdecak pelan.


“Adikmu itu tetap menyebalkan seperti dulu,” kesalku pelan dengan sengaja menyandarkan punggungku kesandaran sofa.


Ah, aku hampir lupa memberitahukan satu hal. Choi Jinki merupakan kakak lelaki dari tunanganku itu—Choi Minho. Ya, sudah jelas ia adalah calon kakak iparku. Sudah beberapa tahun terakhir ini ia tidak pernah kembali ke Korea, karena ia ditugasi untuk mengambil alih perusahaan yang berada di Jepang. Jika ia berada di Seoul karena urusan bisnis, sudah dapat kupastikan ini pasti berhubungan dengan Choi Corporation.


“Tapi setidaknya ia baik, Taemin.” Ucap Jinki hyung lembut—mencoba untuk membela adiknya. Mungkin.


Aku hanya memandangnya datar dan tak menanggapi perkataannya. Suara lembut yang terlontar dari bibirnya terasa seperti melempar jauh anganku. Menghempaskannya pelan dengan meninggalkan suatu perasaan abstrak.


Jinki hyung bangkit dari tempatnya terduduk dan berjalan pelan menghampiriku. Ia duduk tepat di sebelahku dan ikut menyandarkan tubuhnya di sofa. Lagi-lagi, aroma khas dari parfum yang dipakai Jinki hyung menyeruak di indra penciumanku.


Ia memandangku teduh dan mengusap helaian rambut dark brown milikku dengan lembut. “Kau terlihat lelah. Beristirahatlah, sepertinya kau butuh itu.”


EmptinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang